Siang hari, awal Januari 1962. Pada 57 tahun lalu itu, terjadi dialog penting tentang operasi rahasia. Seorang perwira tinggi bintang satu atau komodor laut, memerintahkan seorang perwira menengah yang baru saja naik pangkat menjadi kolonel. Menolak perintah, haram hukumnya dalam militer. Begitu pula yang dialami Kolonel Laut (Pelaut) Sudomo, komandan Satuan Tugas Chusus 9 (STC-9).
"Kalau kamu berangkat, saya juga berangkat!" kata Komodor (Laut) Yosaphat (Yos) Sudarso kepada Kolonel Sudomo. Hal itu terungkap dalam buku Laksamana Sudomo: Mengatasi Gelombang Kehidupan. Awalnya, Sudomo melaporkan persiapan operasi infiltrasi ke Irian Barat. Bagian dari operasi Trikora untuk merebut Irian Barat. Kini menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Setelah pemaparan kepada deputi I/operasi, kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), sang komodor mengungkapkan keinginan nya ikut dalam operasi militer tersebut. Pangkat komodor laut, sejak 21 Mei 1973 diubah menjadi laksamana pertama (laksma).
Bagi Sudomo, keinginan orang nomor dua di TNI AL dalam operasi ini bisa ber implikasi politis. Karena itu, ia membujuk atasannya agar mengurungkan niat bergabung dalam operasi ini.
Sudomo dan Yos Sudarso sudah akrab sejak akhir 1946. Saat keduanya mengikuti pendidikan special operation di Telaga Sarangan. Yos kemudian mengungkapkan, ia mengetahui ada perwira senior Angkatan Darat turut dalam operasi itu.
Perwira itu adalah Kolonel (Infanteri) Moersjid, asisten II/operasi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). "Moersjid bisa ikut. Kok malahan kamu, teman saya, melarang? Itu kan kapal Angkatan Laut, masa saya kamu larang naik?" kata Sudarso dengan volume suara tinggi.
Mengetahui atasannya emosional, Sudomo menyerah. "Siap, Komodor, silakan," jawabnya sambil memberi hormat.
Macan ompong
Sudomo menyadari risiko keikutsertaan Komodor Yos. Dalam operasi infiltrasi ke Irian Barat, melibatkan empat motor torpedo boat (MTB). Kapal canggih yang baru dibeli dari Jerman. Kapal perang itu diberikan nama satwa jenis kucing besar, yakni Hari mau, Macan Tutul, Singa, dan Macan Kumbang.
Namun yang menyedihkan, armada tempur itu tidak dilengkapi persenjataan. Sebagai negara yang baru kalah Perang Dunia II, industri strategis Jerman terkendala aturan pembatasan senjata. Maka jadilah seperti 'macan ompong'. Tidak menggigit!. Apalagi, MTB buatan Jerman tersebut baru beberapa bulan memperkuat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Jumlah ABK yang berpengalaman mengendalikan nya pun masih terbatas.
Mengetahui kemampuan 'kucing-kucing besar' itu tidak optimal, Kolonel Sudomo mengusulkan penggunaan kapal selam untuk operasi ini. Tapi, KSAL Laksamana Madya Raden Eddy (RE) Martadinata menolaknya. Martadinata beralasan, keterbatasan armada kapal selam menjadi pangkal penolakannya. Saat itu, ALRI hanya punya dua kapal selam. Namun, fasilitasnya belum mendukung untuk operasi infiltrasi yang butuh daya angkut personel besar.
Tak ada pilihan lain. Kolonel Sudomo memutuskan MTB sebagai kendaraaan tempurnya. Lebih lincah bergerak dan punya kapasitas personel lebih besar. Namun, keterbatasan yang ada juga membuatnya khawatir. Khawatir bisa sampai sasaran tanpa diketahui musuh, baik AL maupun AU Belanda. "Kemungkinannya berhasil dalam perhitungan saya memang ada, tetapi saya juga sadar, tingkat kerawanannya sangat tinggi. Posisinya bisa dikatakan fifty-fifty," ujar Sudomo.
Dalam operasi, ada tiga titik perjalanan yang ditempuh kapal MTB dalam rencana infiltrasi. Kapal-kapal itu akan mengisi perbekalan dan bahan bakar di tengah laut. Tujuan nya, mencegah kapal terdeteksi musuh. Personel infiltrasi rencananya akan di jemput di titik ketiga. Menurut Sudomo, tidak efektif membawa pasukan sejak dari Tanjung Priok. Sebab, jaraknya ke Papua sampai 2.000 mil laut.
Gabung penginfiltrasi
Iring-iringan MTB pun berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada 9 Januari 1962. Sementara pasukan infiltrasi menuju Bandara Udara Letvuan, di Pulau Kei Kecil, Maluku. Tentu saja menggunakan pesawat.
Mereka berangkat 11 Januari 1962 dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. H minus tiga (H-3) sebelum operasi, mereka diskenariokan dibawa menggunakan kapal ke sebuah pulau di Kepulauan Aru. Di sana semua pasukan bergabung ke MTB.
Sewaktu pasukan infiltrasi tiba di Halim Perdana Kusuma, Kolonel Udara (Pnb) Oemar Dhani, sempat bertemu Komodor (Laut) Yos Sudarso dan Kolonel (Infanteri) Moersjid. Oemar sempat berbincang dengan Yos Sudarso. Ia mendapat informasi, peng infiltrasi merupakan masyarakat Irian Barat yang sudah dilatih RPKAD (Resimen Komando Angkatan Darat).
Dia mengaku terkejut ketika Yos Sudarso dan Moersjid ikut masuk ke Hercules menuju Letvuan. "Hati kecilku mengatakan, mereka mengantar ke Letvuan, pasti besok sudah pulang ke Halim," pikir Oemar Dhani seperti ditulis Julius Pour dalam buku berjudul Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul:
Operasi Patria Menyergap STC-9 ALRI. Keesokan harinya, 12 Januari 1962, Oemar menyadari perkiraannya meleset. Perwira-perwira itu tidak kembali ke Halim bersama pesawat Hercules yang mengantarkannya. Mereka ikut dalam operasi ke Papua. 15 Januari 1962 sore, penginfiltrasi sudah bergabung dengan MTB. Namun, hanya tiga MTB yang tersisa, yakni Harimau, Macan Tutul, dan Macan Kumbang. Sedangkan Singa batal mengikuti operasi karena ada masalah pada mesin di tengah perjalan menuju titik penjemputan.
Sebelum konvoi MTB bergerak menuju sasaran, Sudomo memimpin rapat. Meski paling junior di antara perwira yang ada, ia merupakan pemimpin operasi. Formasi diputuskan KRI Harimau berada paling depan dan KRI Macan Kumbang paling belakang. Sementara di tengah KRI, Macan Tutul.
Sebelum operasi dimulai, Sudomo mengingatkan Yos Sudarso. Misi mereka mengantarkan penginfiltrasi ke wilayah di daerah Selatan Kaimana, sekitar Vlakke Hoek. Yos menolak arahan itu. Ia justru minta bergabung dengan penginfiltrasi. Bukan hanya mengantar penginfiltrasi. Karena itu, Sudomo kemudian menempatkan Komodor Yos di KRl Macan Tutul. Kolonel Sudomo bersama Kolonel Moersjid berada di KRI Harimau. Rombongan pun bergerak.
Terdeteksi Belanda
Ketiga kapal berlayar menuju tujuan dalam kondisi gelap gulita. Hanya KRI Macan Kumbang yang menyalakan radar. Informasi arah disampaikan melalui walkie-talkie. Selepas pukul 21.00, di Perairan Aru, ketiga kapal dikagetkan suara pesawat Neptune dan Firefly. Tak lama kemudian di hadapan mereka muncul tiga kapal perusak Belanda berukuran besar.
Pertempuran pecah! Armada Belanda menembak ke arah tiga MTB. Kolonel Sudomo memberi perintah membatalkan operasi dan kembali ke perairan Indonesia. KRI Macan Kumbang dan Harimau putar haluan. Namun, KRI Macan Tutul malah bergerak ke arah kapal Belanda. Yos mengambil alih komando di kapal itu. Serangan armada Belanda lantas terfokus pada KRI Macan Tutul.
Yos menjadikan KRI Macan Tutul tameng untuk memberi kesempatan dua kapal lain menyelamatkan diri. "Kobarkan semangat pertempuran," teriak Komodor Yos dari corong radio, saat KRI Macan Tutul diserang bertubi-tubi. Tak lama, Macan Tutul terbakar, meledak dan akhirnya tenggelam di Laut Aru.
Sedangkan Macan Kumbang dan Harimau berhasil menjauh dari lokasi pertempuran. Sudomo menyadari Komodor Yos memang sudah siap berjuang di Irian Barat sejak masih di Jakarta. "Beliau sudah membawa bendera dari Jakarta, untuk bisa ditancapkan di Irian. Beliau juga ingin mengambil sebongkah tanah Irian untuk diserahkan kepada Bung Karno," katanya.
Disadur dari Harian Republika edisi 15 Januari 2015 dengan reportase Selamat Ginting.