REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 25 Februari ini Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buya Haedar Nashir, tengah memasuki usia 66 tahun. Dalam rangka merayakan sekaligus mensyukuri usia dan kiprah Buya Haedar Nashir, Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) menghelat kegiatan dengan tajuk “Mensyukuri 66 Tahun Buya Prof. Dr. Haedar Nashir, MSi: Daya Progresif Indonesia dan Keindonesiaan” secara daring tepat di hari ulang tahunnya yang ke-66.
Hadir sebagai pembicara, antara lain Faris Al-Fadhat (Intelektual Muhammadiyah), Zacky Khairul Umam (Intelektual Nahdlatul Ulama), Desvian Bandarsyah (Wakil Rektor II UHAMKA), dan Ahmad Khoirul Umam (Direktur Indostrategic). Adapun David Krisna Alka (JIB & Perhimpunan Rakyat Progresif) bertindak sebagai host.
Dalam pengantarnya, David Krisna Alka selaku tuan rumah acara membeberkan tentang awal mula sematan “Buya” yang kini melekat pada sosok Haedar Nashir. David menyatakan bahwa panggilan tersebut bermula ketika Buya Haedar Nashir memberikan kata pengantar dalam salah satu buku tentang Buya Syafii Maarif.
“Sengaja kita selipkan kata ‘Buya’ pada Prof Haedar, sosok Ketua Umum PP Muhammadiyah yang sekarang ini kita sedang mensyukuri 66 tahun kiprah beliau yang sangat menakjubkan,” ungkapnya.
Bagi Faris Al-Fadhat, Buya Haedar Nashir bukan saja sosok pembaca yang luas dan tekun, tetapi juga menjadi contoh yang ideal bagi generasi muda. Intelektual Muhammadiyah yang juga satu almamater dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini menilai bahwa pembacaan yang luas dan tekun tersebut berdampak pada beberapa hal.
Pertama, Buya Haedar Nashir memberikan contoh kepada kita semua bagaimana melihat persoalan sosial dengan teliti, dengan tajam, dan hati-hati. Hal ini lahir dari bacaan yang luas dan tekun. Kedua, berangkat dari pembacaan yang luas dan tekun itu tentu juga sangat berdampak dalam kememimpinannya di Muhammadiyah. Ketiga, Buya Haedar Nashir sadar akan pentingnya kebebasan berpikir dan regenerasi.
“Buya Haedar selalu memberi ruang pada proses belajar. Saya yakin, Buya Haedar Nashir berada pada posisi untuk menjaga kebebasan berpikir, baik itu melalui tulisan, melalui kaderisasi, maupun melalui organisasi,” ujar Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Intelektual Nahdlatul Ulama Zacky Khairul Umam mencoba menyigi sisi lain dari Buya Haedar Nashir. Ia menilai bahwa sosok Buya Haedar telah menegaskan bahwa mobilitas vertikal di Muhammadiyah bergerak ke arah kemajuan. Dalam pengamatan intelektual NU ini, ide-ide kemajuan tidak harus dibawa oleh dan/atau dari lulusan luar negeri sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Buya Haedar Nashir selama menahkodai Muhammadiyah.
“Suatu perkembangan positif di bawah kepemimpinan Buya Haedar antara lain adalah bagaimana kemudian Muhammadiyah bisa menyuarakan bukan saja ide pembaruan (reformis Islam), melainkan juga disiarkan lewat lembaga-lembaga ke berbagai penjuru dunia,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Rektor II UHAMKA Desvian Bandarsyah menilai jika yang menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah bukan Buya Haedar Nashir, maka boleh jadi kapal besar gerakan Islam Berkemajuan itu akan oleng di tengah situasi yang tak menentu saat ini.
Ketika Buya Syafii berpulang, lanjutnya, ketokohan dan kenegarawanan Buya Haedar Nashir sudah tidak bisa lagi disembunyikan.
“Saya kira di masa-masa sebelum Buya berpulang, ketokohan beliau ini seperti ‘disembunyikan’. Pikiran-pikiran Buya Haedar kita sama-sama tahu, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, itu betul-betul pikiran objektif yang menggambarkan tentang sosiologi kebangsaan kita. Beliau itu merepresentasikan pikiran-pikiran keindonesiaan pada posisi yang betul-betul tengahan. Tidak dibuat-buat. Genuine,” tandasnya.
Sementara itu, Ahmad Khoirul Umam menilai kehadiran Buya Haedar menjadi semacam pengayom di tengah situasi yang serba tidak mudah seperti demokrasi Indonesia yang sedang bergerak mundur saat ini. Dalam konteks tersebut, sambungnya, tampilnya Buya Haedar Nashir yang mengawaki PP Muhammadiyah menjadi penting dan relevan untuk betul-betul kemudian kembali menegaskan positioning dari islamic base civil society itu sendiri.
“Di level ini, Prof Haedar memiliki sebuah elemen kekuatan yang saya pikir juga menjadi inspirasi bagi anak-anak muda, bukan hanya dari Muhammadiyah, tetapi juga lintas ormas, bahkan lintas agama.”
“Muhammadiyah di tangan beliau, betul-betul kemudian mampu bertransformasi menjadi Muhammadiyah yang jauh lebih advance. Jadi, kalau dalam bahasa lain, ini adalah kebangkitan baru Muhammadiyah,” pungkasnya.