REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Surat An Nisa ayat 59 menjelaskan tentang adanya perintah kepada orang beriman untuk mentaati Allah SWT, Nabi Muhammad dan Ulil Amri. Namun pertanyaannya kemudian, siapa yang dimaksud Ulil Amri?
Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa ayat 59)
Dalam Tafsir Al-Mishbah karya Prof Quraish Shihab, dijelaskan bahwa bentuk jamak Ulil tidak mutlak dipahami sebagai badan atau lembaga yang beranggotakan sekian banyak orang. Namun bisa saja mereka terdiri dari orang per orang, yang masing-masing memiliki wewenang yang sah untuk memerintah dalam bidang masing-masing.
"Katakanlah seorang polisi lalu lintas (polantas) yang mendapat tugas dan pelimpahan wewenang dari atasannya untuk mengatur lalu lintas. Ketika menjalankan tugas tersebut, dia berfungsi sebagai salah seorang ulil amri," jelasnya.
Bisa terbayang, jika polisi sudah memerintahkan untuk berhenti di lampu lalu lintas, tetapi masyarakat tidak mentaatinya, tentu situasi lalu lintas menjadi kacau.
Prof Quraish memaparkan, wewenang yang diperoleh, baik sebagai badan maupun perorangan, bisa bersumber dari masyarakat yang akan diatur urusannya. Misalnya melalui pemilihan umum dan bisa juga melalui pemerintah yang sah, yang menunjuk kelompok orang atau orang tertentu untuk menangani satu urusan.
Bahkan, terang Prof Quraish, Thâhir Ibn 'Asyûr berpendapat bahwa Ulil Amri bisa mencakup orang-orang tertentu dengan sifat-sifat dan kriteria terpuji yang kemudian menjadi teladan dan rujukan masyarakat dalam bidangnya. Ulama dan cendekiawan yang jujur adalah orang-orang yang memiliki otoritas di bidangnya.
Bagi mereka, tidak perlu ada penunjukan dari siapa pun karena ilmu dan kejujuran tidak memerlukannya. Masyarakat, yang meneladani dan merujuk kepada mereka berdasarkan pengalaman masyarakat selama ini, langsung memberi wewenang tersebut secara faktual, walau tidak tertulis.
Namun, Quraish menekankan, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak dibenarkan taat kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq."
Jika ketaatan kepada Ulil Amri tidak mengandung atau mengakibatkan kedurhakaan, maka mereka wajib ditaati, meski perintah itu tidak berkenan di hati yang diperintah.
Nabi SAW bersabda, "Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang diperintahkan oleh ulil amri) suka atau tidak suka. Tetapi, bila ia diperintahkan berbuat maksiat, ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taať." (HR. Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Umar)