Rabu 06 Mar 2024 01:00 WIB

Pemerintah Coba 'Contek' Skema Student Loans di Australia

Skema student loans di Australia juga direplikasi oleh Inggris dan beberapa negara.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Dua mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menggelar aksi unjuk rasa dengan membawa baju dansa di depan Gedung Kemendikbudristek, Jakarta, Jumat (10/2/2023). Dalam aksinya para mahasiswa menuntut Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk menuntaskan polemik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dianggap sebagai bentuk komersialisasi pendidikan akibat mahalnya biaya kuliah di Indonesia.
Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Dua mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menggelar aksi unjuk rasa dengan membawa baju dansa di depan Gedung Kemendikbudristek, Jakarta, Jumat (10/2/2023). Dalam aksinya para mahasiswa menuntut Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk menuntaskan polemik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dianggap sebagai bentuk komersialisasi pendidikan akibat mahalnya biaya kuliah di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tengah mengkaji skema student loans atau pinjaman untuk pelajar yang ramah dan tidak menyebabkan lulusan dijerat utang serta tidak gagal bayar. Salah satu skema pembiayaan mahasiswa atau student loans yang dikaji secara intens adalah Income Contingent Loans yang diterapkan di Australia, yang juga direplikasi di Inggris dan beberapa negara lain.

“Mudah-mudahan dengan skema tersebut, akses ke perguruan tinggi tidak lagi terkendala kemampuan ekonomi orangtua,” kata Plt Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam dalam bincang edukasi bertajuk 'Mengupas Skema Terbaik dan Ringankan Pendanaan Mahasiswa' di Universitas Yarsi, Jakarta, Selasa (5/3/2024).

Baca Juga

Perguruan tinggi menjadi jenjang terakhir untuk mengantarkan mahasiswa menjadi warga negara yang kompeten serta mandiri bekerja di dunia profesional. Penyiapan sumber daya manusia unggul dan berdaya saing tinggi itumembutuhkan biaya yang tidak murah, yang perlu dipenuhi secara bergotong royong oleh pemerintah, industri, dan masyarakat. 

Akses pendidikan tinggi di Indonesia beberapa dasawarsa terakhir terus meningkat. Namun, masyarakat mengeluhkan biaya di perguruan tinggi yang dianggap mahal. 

“Di seluruh dunia, pendidikan tinggi pun tidak murah. Jika dibandingkan dengan berbagai negara tetangga, apalagi dengan negara maju, di Indonesia relatif rendah atau tertinggal,” kata Nizam.

Lebih lanjut Nizam memaparkan, dari berbagai data yang dikompilasi, menunjukkan rata-rata biaya total pendidikan Indonesia sekitar 2.000 dollar AS atau sekitar Rp 28 juta per mahasiswa. Jika dibandingkan India yang berkisar 3.000 dolar AS, biaya di Indonesia berkisar 75 persennya.

Lalu, jika dibandingkan Malaysia baru seperempatnya karena biaya kuliah di sana sekitar 7.000 dolar AS per mahasiswa. Di Singapura mencapai 25.000 dolar AS, sedangkan di Australia berkisar 20.000 dolar AS, dan Amerika 23.000 dolar AS. 

Di negara Skandinavia, biaya pendidikan memang ditanggung negara, karena masyarakat membayar pajak penghasilan tinggi. Adapun di Indonesia, pembayaran pajak masih rendah.  

“Pembiayaan pendidikan secara gotong royong, dilakukan di Indonesia dan juga negara-negara maju.  Ada subsidi pemerintah dan dari mahasiswa,” ujar Nizam. 

Dia menyebut model pendanaan kuliah berkeadilan diterapkan bagi mahasiswa, sesuai kemampuan ekonomi keluarga. Bahkan untuk mahasiswa dari keluarga miskin/tidak mampu ada Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang anggarannya lebih dari Rp 13 triliun.

“Namun, ada tantangan bagi kelompok masyarakat menengah. Untuk membiayai kuliah berat,  tapi tidak eligble mendapat KIP Kuliah. Untuk itu, kita perlu mencari skema pendanaan yang baik, yang tidak membuat mahasiswa terjerat utang seumur hidup,” ujar Nizam.

Perkembangan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Idnoensia dari tahun 2015 hingga 2023 terus meningkat. Pada 2015 APK perguruan tinggi berkisar 25-26 persen dengan jumlah sekitar 5,8 juta mahsiswa. Pada akhir tahun 2023, jumlah mahasiswa hampir dua kali lipat, sebanyak 9,8 juta mahasiswa. Kini, APK perguruan tinggi menyentuh hampir 40 persen.

photo
Ilustrasi Mahasiswa - (Republika/mgrol100)

 

Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَؤُا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ قَوْمِ نُوْحٍ وَّعَادٍ وَّثَمُوْدَ ەۗ وَالَّذِيْنَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ ۗ لَا يَعْلَمُهُمْ اِلَّا اللّٰهُ ۗجَاۤءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنٰتِ فَرَدُّوْٓا اَيْدِيَهُمْ فِيْٓ اَفْوَاهِهِمْ وَقَالُوْٓا اِنَّا كَفَرْنَا بِمَآ اُرْسِلْتُمْ بِهٖ وَاِنَّا لَفِيْ شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُوْنَنَآ اِلَيْهِ مُرِيْبٍ
Apakah belum sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, samud dan orang-orang setelah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Rasul-rasul telah datang kepada mereka membawa bukti-bukti (yang nyata), namun mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian), dan berkata, “Sesungguhnya kami tidak percaya akan (bukti bahwa) kamu diutus (kepada kami), dan kami benar-benar dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu serukan kepada kami.”

(QS. Ibrahim ayat 9)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement