Oleh: Achmad Charris Zubair, Filsuf dan mantan dosen Filsfat UGM
Seseorang memiliki naluri alamiah untuk menurunkan keberhasilan yang dia capai kepada anak turunnya.
Atau, setidaknya kepada orang-orang terdekat. Keberhasilan itu bisa harta, ilmu, hingga kekuasaan. Dan naluri ini sebenarnya cukup wajar. Ini karena dimiliki hampir semua orang.
Hanya, naluri ini tidak mungkin dibiarkan tanpa aturan, baik secara hukum maupun moralitas.
Dalam konteks politik dinasti, misalnya naluri ini bisa jadi sebuah tindakan anarki di kehidupan manusia. Akibatnya, hukum tidak lagi bermakna karena tidak didasari oleh hati nurani atau sadar yang lain.
Di negara dengan sistem monarki saja, tidak semua anak turun raja bisa mewarisi kekuasaan.Harus ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh sang penerus titah.
Namun, yang jadi sorotan Charris untuk fenonema Indonesia dengan sistem demokrasinya ini, naluri dinasti itu setidaknya ada dua macam. Yakni, naluri dinasti kemudian mempunyai ahli waris ideologis. dan ada juga naluri dinasti yang melahirkan ahli waris geneologis.
Kedua hal itulah yang kini jadi persoalan Indonesia yang menggunakan menyatakan menggunakan sistem demokrasi tersebut.
Memang harus ditengarai sekarang ada semacam kesan: Mengapa ada pihak yang suka dan ingin menuruti naluri dinasti dengan membentuk ahli waris genetik?" Dan bila melihat kenyataan ketika seseorang mengajukancalon kepala daerah yang punya relasi dengan incumbent ini terasa paradoks karena memang tidak melanggar secara hukum.
Apalagi kemudian dinyatakan soal 'ahli waris politik' itu adalah sebuah modal politik dan sah-sah saja karena merupakan hak semua orang.
Memang seseorang tidak bisa menolak jika punya hubungan darah dengan kepala daerah petahana. Karena seseorang lahir dari keturunan mana bukan merupakan pilihannya sendiri. Itu terjadi alamiah.
Namun, soal dinasti politik dan naluri membuat ahli waris politik dalam kontestasi demokrasi pada sebuah negara demorkasi memang seharusnya tidak hanya menyangkut persoalan hukum. Hal ini karena ada hal lain seperti moralitas yang harus ditunjukkan kepada masyarakat.
Apalagi di negara dengan sistem demokrasi seperti Indonesia. Maka semua pihak harus melihat di dalam iklim dan sistem politik demokrasi dapat menahan diri, meski siapa pun berhak (untuk diajukan) diajukan dalam pemilihan pengampu kekuasaan.
Maka bila mampu menahan diri tidak terlarut dalam pembentukan politik dinasti, maka nantinya demokrasi politik akan tampak bermoral. Ini jika para pihak yang berada dan pernah di tampuk kekuasaan memberikan kesempatan kepada orang lain karena mereka punya trackrecord lebih baik daripada anak sendiri atau ahli warisnya.
Alhasil, dalam hal ini, apa yang disebut dinasti politik bukan berdiri sendiri serta pasti ada elemen lain yang mendukungnya. Memakai nasihat leluhur Jawa membentuk dinasti politik atau memberikan kekuasaan yang itu milik umum kepada ahli warisnya, semua itu adalah sebuah tindakan: bener, tapi kurang pener.
Pada sisi lain, adanya dinasti politik juga menjadi penanda bahwa sistem demokrasi di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Sebab, ada proses demokrasi yang terhambat.
Ingat motif ingin mempertahankan kekuasaan, maka praktik dinasti politik rentan dengan proses-proses transaksional. Dan fenomena ini praktik tersebut bisa dihentikan jika parpol melakukan perbaikan diri. Selain itu, negara juga harus membuat aturan baru guna membuat iklim demokrasi semakin kondusif.
Mengapa? Kalau politik dinasti tidak diatur oleh hukum dan moral, masalah ini akan menjadi anarki. Maka aturan yang mengikatnya bersifat mutlak. Sebagai contoh, siapa pun yang sedang menjabat tidak diperkenankan mengajukan, misalnya anaknya. Ini harus diatur sebaik-baiknya!
Partai politik juga harus memberikan peluang untuk membuat aturan-aturan semacam itu. Ini yang harus kita tunjukan, bahwa pada saat seseorang menjabat, jangan sampai anak atau kerabatnya mencalonkan diri.
Bila aturan itu sudah tersedia, maka orang-orang akhirnya tidak akan memberikan penghakiman pada politik dinasti!