REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung tetap mendorong adanya revisi Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada). Sebab, pertimbangannya bukan hanya soal percepatan jadwal Pilkada 2024 dari November ke September.
Salah satu pertimbangannya adalah 271 daerah yang kepala daerahnya akan habis masa jabatannya pada Desember 2024. Menurutnya, tidak tepat jika pemerintah pusat selalu menunjuk penjabat (Pj).
"Makanya, kalau kami tetap mendorong supaya terjadi revisi undang-undang itu (Pilkada)," ujar Doli di Kantor DPP Partai Golkar, Ahad (10/3/2024) malam.
"Kemudian, keserentakan pelantikan DPRD. selama ini kita juga nggak diatur itu, jadi ada pelantikannya Agustus, September, Oktober, November gitu loh. Nah, jadi itu yang kemudian harus, juga perlu diatur di undang-undang atau revisi undang-undang itu," sambungnya.
Adapun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait larangan untuk mengubah jadwal Pilkada, dapat menjadi bahan kajian sebelum merevisi UU Pilkada. Sebab sekali lagi disampaikannya, revisi tersebut tak hanya berkaitan dengan percepatan jadwal dari November ke September.
"Surpresnya (revisi UU Pilkada) udah masuk, jadi surpesnya itu udah tiga bulan yang lalu sebetulnya dikirim, nah tinggal pimpinan aja. Jadi kami tinggal nunggu pimpinan kapan itu diagendakan di dalam rapat bamus dan kemudian diserahkan itu dibahas di mana gitu," ujar Doli.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, mengakui satu alasan mendesak yang membuat pemerintah ingin mempercepat Pilkada 2024 dari November ke September. Jika Pilkada Serentak 2024 tak dipercepat pemungutan suaranya, akan ada potensi kekosongan kepada daerah di banyak daerah.
Sebab kondisi saat ini, terdapat 101 daerah dan empat daerah otonomi baru di Papua yang diisi oleh penjabat kepala daerah sejak 2022. "Dan terdapat 170 daerah yang diisi oleh penjabat kepala daerah pada 2023. Serta terdapat 270 kepala daerah hasil pemilihan tahun 2020 yang akan berakhir pada 31 Desember 2024," ujar Tito dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, Rabu (21/9/2023) malam.
"Berdasarkan data ini, maka terdapat potensi akan terjadi kekosongan kepala daerah pada 1 Januari 2025 dan jika ini terjadi maka pada 1 Januari 2023 terdapat 545 daerah yang berpotensi tidak memiliki kepala daerah definitif," katanya.
Karenanya, pemerintah perlu diambil langkah yang sifatnya strategis dan mendesak untuk menghindari kekosongan kepala daerah tersebut. Terlebih lagi adanya perbedaan kewenangan antara kepala daerah definitif dan penjabat (Pj).
"Di samping tentunya legitimasi yang tentu akan lebih kuat kalau diisi oleh kepala daerah hasil Pilkada," ujar Tito.