REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan pihaknya turut mengawasi sengketa Pilpres 2024 bila ada personel Polri yang dilibatkan sebagai saksi atau memberikan keterangan pada persidangan.
“Ya kami akan mengawasi. Jika prosedur kehadiran saksi nantinya dinyatakan sesuai Peraturan MK,” kata Poengky di Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Poengky menerangkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) mengharuskan personel Polri yang dihadirkan dalam sidang sengketa harus mendapat izin dari atasan.
Aturan ini disebutkan dalam sidang sengketa Pilkada Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua, pada tahun 2016, di mana saksi yang dihadirkan anggota kepolisian.
Namun, keterangan dari kepolisian secara sambungan video konferensi tersebut tidak jadi dilakukan dikarenakan mereka tidak mendapat surat izin dari Kapolda Papua selaku pimpinan.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna kala itu mengatakan anggota kepolisian, Panwas dan sebagainya boleh saja memberikan keterangan pada persidangan dengan syarat harus mendapat izin dari atasan.
Definisi saksi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), dan anggota kepolisian tidak tergolong sebagai saksi. Statusnya sebagai pemberi keterangan semata, karena dalam konteks pidana, polisi bertindak bukan atas dasar perseorangan, namun patuh pada instruksi atasan.
Berdasarkan PMK itu, kata Poengky, maka anggota kepolisian yang dihadirkan baru dapat didengar keterangannya pada sidang yang terbuka untuk umum. Tentunya dapat menilai keterangan yang bersangkutan adalah MK.
“Kompolnas akan menggunakan putusan MK sebagai kajian untuk melakukan analisa dan membuat rekomendasi,” kata Poengky.
Terkait pernyataan Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud yang akan membawa sejumlah bukti dan saksi saat melakukan gugatan sengketa hasil Pilpres 2024 di MK, salah satu saksi yang akan dihadirkan adalah seorang kepala kepolisian daerah (Kapolda), Poengky menyebut tidak mengetahui pasti siapa Kapolda yang dimaksud.
“Kami tidak tahu siapa yang dimaksud, dan apakah yang bersangkutan masih aktif atau sudah purna tugas,” kata Poengky.
Poengky menegaskan bahwa netralitas personel Polri diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 28 ayat (1) dan (2), yang dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang disiplin Polri Pasal 5 huruf b, serta aturan Kode Etik Polri Pasal 4 huruf f Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022.
Aturan-aturan tersebut juga sudah ditindaklanjuti dan dijabarkan dengan Surat Telegram Kapolri Nomor 2407 tentang netralitas Polri, serta aturan-aturan di tingkat satuan kerja dan satuan wilayah.
“Dengan taat dan melaksanakan aturan netralitas Polri sebaik-baiknya maka nama baik institusi Polri akan semakin harum dan kepercayaan masyarakat kepada Polri akan meningkat,” kata Poengky.
Namun, kata dia, jika ada oknum yang coba-coba tidak netral maka selain merusak nama baik Polri, juga akan dikenakan sanksi yang terberat adalah pemecatan.