Oleh: Hendrajit, Penulis, Peneliti dan Pengamat Politik militer.
Sebenarnya urusan hadiah nobel, apalagi nobel sastra, sudah berlalu. Lantaran puncaknya pada 10 Desember lalu. Bertepatan dengan wafatnya Alfred Nobel.
Nah ngomong-ngomong tentang Alfred Nobel, ia sempat berwasiat ihwal kriteria bagi yang layak dianugrahi nobel.
Pertama karyanya harus luarbiasa, outstanding work, kata pak Nobel. Kedua karyanya harus in an ideal direction. Artinya, ķandungan karya si pengarangnya harus memancarkan sesuatu yang ideal sebagai cita-cita yang mendasari visi sang pengarangnya.
Nah kriteria yang kedua ini yang kontroversial, pro kontra, bahkan bisa subyektif. Apalagi para jurinya ini kan ditentukan panitia pengarah dari akademi ilmu pengetahuan Swedia.
Sebab gini ya. Kalau cuma sampai pada frase it must be in an ideal direction, saya tentu saja setuju. Karena penulis yang baik, entah itu fiksi atau nonfiksi, bahan bakarnya adalah sesuatu yang menggelisahkan atau menyibukkan pikiranya sepanjang waktu. Semacam cita cita atau ideal yang ia kejar, bahkan kalau perlu semacam obsesi.
Para sastrawan pemenang nobel seperti Rabindranath Tagore atau Rudyard Kipling yang gelisah dengan ketidakadilan global dan penjajahan namun tetap dengan sudut pandang internasionalisme, misalnya, tentu saja masuk kriteria ini. Begitu pula musisi Bob Dylan karena puisi-puisi syair lagunya yang memihak rakyat tertindas.
Namun kenapa Pramudya Ananta Toer tidak masuk kriteria padahal sempat dinominasi sebagai bakal calon?
Saya kira frase ideal dalam rumusan kriteria yang diwasiatkan Alfred Nobel inilah yang jadi soal subyektivitas Akademi Swedia menerjemahkan frase kata ideal sesuai dengan arus utama nilai-nilai ideal Swedia, yaitu Sosial Demokrasi atau Sosial Demokrat.
Dalam konstelasi geografis khas Swedia, Sosial Demokrasi bukan sekadar isme ideologi, melainkan pandangan hidup. Weltanschauung. Ekspresi peradaban bangsa. Sehingga kriteria subyektif yang diwasiatkan Alfred Nobel kepada pemenang adalah yang berada pada posisi sayap kiri dari haluan sosial demokrat, namun tidak boleh berseberangan dengan paham yang sudah jadi arus utama swedia.
Di sinilah Pramudya Ananta Toer gagal masuk nominasi, meski untuk kriteria pertama Alfred Nobel cocok. Bahwa Karyanya harus outstanding work atau karya harus hebat dan luar biasa. Seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Arus Balik, Keluarga Gerilya, dan Blora.
Namun pada kriteria ideal direction seperti kriteria Nobel yang kedua ketika dihadapkan dengan nilai nilai ideal Pram nampaknya berbenturan. Meskipun
Pram amat kuat pikiran sosialismenya, namun alas pikirannya itu adalah nasionalisme anti kolonial. Sehingga dalam sudut pandang swedia, Pram tidak dalam posisi di sayap kiri Sosialis Demokrat, melainkan berseberangan.
NB:
Catatan dari jurnalis senior yang sempat menjabat sebagai menteri, Manuel Kaiseepo tentang kriteria siapa saja yang bisa menadapat penghargaan Nobel:
"Jangan dilupakan bahwa Panitia Nobel (sastra) juga tidak bebas dari 'intervensi' politik, seperti dalam kasus "Doctor Zhivago"-nya Boris Pasternak.Terlepas dari kriterianya sebagai karya sastra bermutu tinggi dan layak Nobel, tapi prosesnya sampai ditetapkan sebagai pemenang Nobel Sastra 1958 tidak lepas dari intervensi Amerika (CIA) dlm konteks perang dingin pasca PD II."