REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tingginya angka golput pada Pemilu 2024 menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan dan penyelenggara pemilu ke depan. Apabila angka golput yang tinggi dibiarkan, maka akan berbahaya bagi legitimasi presiden, wakil presiden, maupun anggota legislatif terpilih di kemudian hari.
“Legitimasi jadi berkurang bagi yang terpilih, baik presiden, wakil presiden, maupun legislatif. Dan itu tentu bahaya. Pemilu itu kan butuh legitimasi yang kuat dan tinggi dengan partisipasi pemilih yang tinggi pula,” jelas Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin kepada Republika, Kamis (21/3/2024).
Data Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 mencapai angka 204.807.200 pemilih. Kemudian, berdasarkan hasil penghitungan suara sah yang mencoblos ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden berada di angka 164.227.475 pemilih. Terdapat selisih 40 ribu suara lebih yang tidak menggunakan suara atau membuat suaranya tidak sah.
“Ini menjadi tugas pemerintah ke depan. Pemerintah baru, tugas KPU ke depan juga. Politisi juga ke depan. Kita semua untuk memperbaiki kondisi politik, memperbaiki kondisi negara agar masyarakat tidak golput lagi, agar masyarakat punya pilihan sendiri terkait dengan kandidat-kandidat maupun partai yang akan dipilihnya nanti ke depan,” tutur dia.
Ujang melihat fenomena itu terjadi akibat kekecewaan masyarakat terhadap kondisi politik saat ini, baik terhadap figur politisi maupun kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Sebab itu, dia mengatakan, penting bagi pemerintahan ke depan untuk memperbaiki kondisi politik bangsa.
“Fenomena golput tembus 40 juta itu tentu menjadi sesuatu yang merugikan bagi masyarakat. Kenapa? Ya mungkin karena masyarakat Indonesia kecewa dengan politisi,” terang Ujang.
Menurut dia, salah satu kekecewaan masyarakat timbul akibat perilaku-perilaku para politikus yang cenderung tidak baik. Di mana, terkadang mereka membuat pernyataan seenaknya, mudah berpindah sisi dari oposisi ke koalisi atau sebaliknya, tidak konsisten antara pernyataan dan tindakannya, dan lain sebagainya.
“Saya melihat yang menyebabkan fenomena ini ya tentu adalah soal kekecewaan itu. Kekecewaan pemilih yang tidak memilih tersebut, kecewaan publik, kecewaan masyarakat kepada kondisi politik Indonesia. Karena kecewa itu, ya, tidak datang, tidak memilih,” terang dia.
Selain terhadap figur politik, dia juga menyebutkan, basis golput juga dapat terjadi karena kekecewaan atas absennya perubahan dalam kehidupan mereka. Mereka merasa tidak ada perbaikan-perbaikan signifikan dalam hidup dan nasib mereka yang dihasilkan oleh para politikus. Mereka pun merasa tidak terbantu dengan semua itu.
“Karena tadi tidak ada perubahan apa pun menurut versi mereka, maka mereka memutuskan untuk tidak memilih, untuk menjadi golput. Jadi semua dasar akar masalah golput adalah soal akar masalah kekecewaan itu,” kata Ujang.