REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi III DPR Dede Yusuf mengungkapkan alasan tingginya angka golongan putih (golput) dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Menurut politisi Partai Demokrat itu, salah satu faktor utama rendahnya tingkat partisipasi pemilih adalah karena para calon yang maju kurang menarik.
Ia mengibaratkan Pilkada 2024 seperti pertandingan sepakbola. Ketika tim yang bermain memiliki nama besar, seperti Manchester United melawan Chelsea, pasti akan banyak menarik perhatian penonton. Sebaliknya, pertadingan antara tim yang tak banyak memiliki fans akan berlangsung sepi penonton.
"Jadi kembali lagi, memang calon juga sangat berpengaruh untuk membuat orang datang melihat pertandingan tersebut," kata dia di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Jakarta Pusat, Senin (2/12/2024).
Ia menilai, pihaknya telah melakukan evaluasi terhadap sosialisasi yang dilakukan KPU untuk mengajak warga berpartisipasi di Pilkada 2024. Menurut dia, sosialisasi yang dilakukan oleh KPU di seluruh daerah sudah cukup optimal.
Namun, KPU tak bisa serta merta memaksa warga untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk mencoblos. Kedatangan warga ke TPS harus dilandasi oleh keinginan untuk memilih calon tertentu.
"Itu tadi kalau kita lihat bahwa sekarang jumlah pesertanya tidak maksimal, itu menandakan mungkin calon-calonnya bukan calon yang menarik buat para pemilih," kata Dede.
Menurut dia, tingginya angka golput itu harus menjadi bahan evaluasi bagi partai politik. Artinya, partai politik harus benar-benar memunculkan calon kepala daerah yang sesuai dengan harapan warga. Bukan sekadar mewakili partai politik.
Dede menambahkan, faktor lain yang membuat tingkat partisipasi pemilih rendah adalah waktu pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 yang berdekatan dengan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Alhasil, warga merasa lelah untuk datang ke TPS menentukan calon pemimpin mereka.
"Mungkin bisa kita lakukan ke depan perubahan dengan beda tahun misalnya," kata dia.
Ia menilai, Komisi II DPR pasti akan mengkaji untuk kembali memisahkan pelaksanaan Pemilu dan Pilpres dengan Pilkada agar tidak dilakukan pada tahun yang sama. Sebab, pelaksanaan tiga kontestasi politik itu di tahun yang sama tak hanya membuat masyarakat lelah. Partai politik juga disebut kelelahan yang sama untuk melakukan kerja politik.
"Setiap partai itu melewati sebuah proses Pemilu dan Pilpres yang tidak mudah. Yang kedua, Pilkada langsung itu juga sama lelahnya. Artinya beban bagi para peserta pemilu dan pilkada itu pasti bebannya dua kali lipat. Plus, bagi para penyelenggara juga," kata dia.
"Jadi kemungkinan ini akan jadi diskusi yang cukup intens lah terkait jeda waktu atau mungkin beda tahun, atau apapun namanya, di dalam revisi undang-undang pemilu," kata dia.
Sebelumnya, Komisioner KPU August Mellaz mengatakan, saat ini pihaknya masih melakukan tahapan rekapitulasi perolehan suara secara berjenjang. Setelah rekapitulasi selesai dilakukan, angka partisipasi pemilih baru akan dapat dipastikan. Namun, ia mengakui, terdapat penurunan angka partisipasi pemilih jika dibandingkan dengan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Memang kalau kita lihat sekilas ya, dari gambaran secara umum, ya kurang lebih di bawah 70 persen, secara nasional rata-rata," kata dia saat konferensi pers di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).