REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bendahara Umum DPP Partai NasDem, Ahmad Sahroni, menjawab permintaan keterangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (22/3/2024). Sahroni bakal digali pengetahuannya mengenai perkara dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Sahroni menyadari pemanggilannya guna bersaksi dalam kasus TPPU SYL. Sahroni menduga pertanyaan dari tim KPK akan berkutat soal pengetahuannya selaku Bendum Nasdem.
"Mungkin KPK bertanya kan kapasitas gue sebagai bendahara umum, apakah ada keterlibatan di partai secara langsung maupun tidak kan? Mungkin itu yang akan ditanyain. Jadi gue sebagai bendahara umum hadir terkait apa yang dilakukan Pak SYL," kata Sahroni, kepada awak media saat tiba di Gedung KPK.
NasDem turut disebut menerima kucuran uang haram korupsi SYL sebesar Rp 40 juta. Hal ini terkuak dalam surat dakwaan jaksa KPK. Uang haram itu awalnya bakal disalurkan bagi bantuan bencana alam Gempa Cianjur pada November 2022. Sahroni menyampaikan NasDem tak keberatan memulangkan uang tersebut.
"Tapi yang pertama Rp 800 juta sudah dipulangin. Jadi ada dua, Rp 800 juta dengan Rp 40 juta. Yang Rp 800 juta sudah tiga bulan lalu kalau nggak salah sudah dipulangin," ujar Wakil Ketua Komisi III itu.
Sahroni menyampaikan Nasdem tinggal menunggu arahan dari KPK untuk mengembalikan sisa dana itu.
"Tercatat (dananya di NasDem) diterima tapi nggak dipakai. Duitnya dikembaliin, kan kita nggak tahu kalau yang bersangkutan uangnya entah dari mana gitu, tapi sudah kita kembalikan. Tinggal yang Rp 40 juta, tinggal nunggu perintah dari KPK. Kalau KPK suruh kembalikan segera, kita kembalikan," ucap Sahroni.
Di kasus yang sudah sampai di meja hijau, JPU KPK mendakwa SYL melakukan pemerasan hingga Rp 44,5 miliar. Sejak menjabat Mentan RI pada awal 2020, SYL disebut mengumpulkan Staf Khusus Mentan RI Bidang Kebijakan Imam Mujahidin Fahmid, mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan Kasdi Subagyono, mantan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta dan ajudannya, Panji Harjanto. Mereka lantas diminta melakukan pengumpulan uang "patungan" dari semua pejabat eselon I di Kementan untuk keperluan SYL.
Atas perbuatannya, SYL didakwa melanggar Pasal 12 huruf e, atau Pasal 12 Huruf F, atau Pasal 12 huruf B Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Hingga saat ini, SYL juga dijerat dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Perkara itu yang di tahap penyidikan oleh KPK.