REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim tidak hanya menyebabkan kenaikan suhu hingga ke tingkat yang berbahaya, namun juga mendorong penyebaran penyakit menular yang mematikan. Hal ini merujuk pada studi terbaru yang dilakukan oleh tim peneliti dari Fakultas Kedokteran University of California-Davis.
Melalui studi ini, para peneliti menyerukan peningkatan kesadaran, kesiapsiagaan, dan tindakan dalam komunitas medis untuk mengatasi ancaman kesehatan yang muncul akibat perubahan iklim. Mereka juga menjelaskan hubungan yang kompleks antara perubahan iklim dan penyakit menular, dan mendorong agar para dokter beradaptasi dengan cepat terhadap lanskap yang terus berkembang.
"Dokter harus siap menghadapi perubahan lanskap penyakit menular. Mempelajari hubungan antara perubahan iklim dan perilaku penyakit dapat membantu memandu diagnosis, pengobatan, dan pencegahan penyakit menular,” kata George Thompson, penulis utama studi sekaligus profesor di fakultas kedokteran UC Davis, seperti dilansir Study Finds, Selasa (26/3/2024).
Studi yang dipublikasikan di jurnal JAMA ini menarik perhatian pada berbagai penyakit menular yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, atau parasite, serta cara penularannya baik dari hewan ke manusia atau dari orang ke orang. Fokus utamanya adalah pada penyakit yang ditularkan melalui vektor seperti demam berdarah, malaria, dan Zika, yang ditularkan oleh nyamuk pembawa penyakit seperti nyamuk, kutu, dan caplak.
Dalam studi tersebut, para ahli merinci bagaimana pergeseran pola iklim, termasuk perubahan pola hujan, musim dingin yang lebih pendek, dan musim panas yang lebih panjang, memperluas habitat dan periode aktif vektor penyakit. Hal ini telah menyebabkan peningkatan penyakit seperti babesiosis dan Lyme disease, yang secara tradisional terbatas pada musim dan wilayah tertentu, kini muncul di area dan waktu baru dalam setahun.
"Kami melihat kasus-kasus penyakit yang ditularkan melalui kutu pada bulan Januari dan Februari. Musim kutu dimulai lebih awal dan dengan kutu yang lebih aktif dalam rentang yang lebih luas. Ini berarti jumlah gigitan kutu meningkat dan dengan itu, penyakit yang ditularkan melalui kutu juga meningkat,” kata penulis pertama studi ini, Matthew Phillips, seorang ahli penyakit menular di RS Massachusetts dan Harvard Medical School.
Penyebaran malaria juga mengalami pergeseran ke arah utara, yang disebabkan oleh perubahan iklim yang mempengaruhi populasi nyamuk. Fenomena kasus malaria yang didapat secara lokal di wilayah seperti Texas, Florida, dan bahkan sampai ke utara seperti Maryland, seperti yang diamati pada musim panas lalu, menggarisbawahi meningkatnya ancaman yang ditimbulkan oleh perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat.
Studi ini juga membahas risiko yang terkait dengan penyakit zoonosis - infeksi yang ditularkan dari hewan ke manusia. Perubahan pola migrasi dan habitat hewan, yang sebagian disebabkan oleh perubahan iklim, meningkatkan paparan manusia terhadap patogen yang berpotensi menjadi patogen baru dan berbahaya. Selain itu, munculnya infeksi jamur baru dan perluasan jangkauan geografis penyakit seperti demam lembah disorot sebagai tanda-tanda perubahan lanskap penyakit.
Menyadari adanya gangguan global yang disebabkan oleh wabah penyakit menular seperti COVID-19, para penulis menganjurkan peningkatan pengawasan penyakit menular dan langkah-langkah proaktif untuk menyesuaikan pendidikan dan pelatihan medis.
"Ini bukanlah situasi tanpa harapan. Ada beberapa langkah berbeda yang dapat kita ambil untuk mempersiapkan diri dan membantu menghadapi perubahan ini. Para dokter melihat secara langsung dampak perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, mereka memiliki peran dalam mengadvokasi kebijakan yang dapat memperlambat perubahan iklim," kata Phillips.
Studi yang didanai oleh National Institutes of Health ini menekankan pentingnya keterlibatan yang berkelanjutan dengan lembaga pendanaan federal dan kelompok penasihat untuk memastikan penyakit menular tetap menjadi prioritas dalam agenda kesehatan masyarakat.