REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kecurangan menjadi racun di setiap cabang olahraga profesional. Jika terbukti bersalah, pelaku mendapat sanksi berat.
Bulu tangkis Indonesia sedang mendapat sorotan. Jika bicara prestasi, itu sudah sering dibahas. Fakta menunjukkan, Indonesia nyaris selalu menjadi unggulan teratas di berbagai turnamen. Terutama di nomor ganda putra, ganda putri, juga tunggal putra.
Jadi kali ini bukan tentang prestasi. Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) baru saja menjatuhkan hukuman kepada delapan atlet tepok bulu Indonesia. Berbeda-beda level tingkatan sanksinya. Ada yang sampai dilarang beraktivitas seumur hidup.
BWF memutuskan delapan pebulu tangkis Indonesia itu terlibat kasus taruhan dan match fixing. Mereka dianggap melanggar code of conduct BWF dengan melakukan kecurangan saat menjalani kegiatan profesionalnya. BWF menindaklanjuti tuduhan kepada para pemain pada 2021 lalu.
Dua pemain Malaysia, satu dari Brunei Darussalam, serta satu dari India juga mendapat sanksi dari induk organisasi bulutangkis dunia itu.
Dikutip dari berbagai sumber, match fixing bukan kasus baru. Ada sejumlah kisah dan fakta pada masa lalu yang berkaitan dengan taruhan dan match fixing di bulu tangkis dunia.
Pada 1985, pebulu tangkis Inggris, Steve Baddeley buka-bukaan bercerita kepada The Times. Ia yakin wakil China terkadang terlibat dalam pengaturan pertandingan.
Masih pada tahun yang sama, pebulutangis Denmark, Kirsten Larsen menuduh pemain China, Li Lingwei dan Han Aiping mengatur jalannya pertandingan final mereka pada kejuaraan Bulutangis Nasional China.
Pada 2008, pelatih bulu tangkis China, Li Yongvo mengaku terlibat dalam match fixing selama Olimpiade musim panas 2004. BWF merespons. BWF membentuk tim untuk menyelidiki dugaan pengaturan pertandingan di bulu tangkis.
Selama Olimpiade musim panas 2012, beberapa pertandingan bulu tangkis di nomor ganti putri mendapat pengawasan ketat dari pejabat berwenang di turnamen tersebut, dan BWF. Delapan pemain dicoret dari kompetisi. Mereka dianggap tidak mengeluarkan upaya terbaik saat bertanding di babak awal.
Tak ada bukti yang mengarah ke perjudian. Namun tetap saja, keputusan untuk sengaja tampil buruk pada babak round-robin tak bisa dibenarkan. Para pemain dianggap sengaja melakukan itu, agar mendapatkan lawan yang menguntungkan di babak sistem gugur.
Selama Jepang Terbuka 2014, Presiden Komisi Atlet Bulu Tangkis Denmark, Hans-Kristian Vittinghus ditanya melalui Facebook oleh seorang pria, apakah dia tertarik untuk mengatur pertandingan. Pria ini, dia temui di turnamen sebelumnya. Vittinghus menolak. Rupanya orang yang sama mendekati pemain Denmark, Kim Astrup, lalu melakukan penawaran serupa. Vittinghus dan Astrup lantas menjalin komunikasi dengan BWF. Penyelidikan berlanjut untuk mengetahui identitas orang tersebut.
Pada 2018, BWF mengeluarkan skorsing masing-masing 15 dan 20 tahun bagi pemain Malaysia Tan Chun Seang dan Zulfadli Zulkiffli pada 2013, karena pengaturan pertandingan di berbagai turnamen. BWF meyakinkan panel independen untuk menyelidiki tuduhan yang dibuat oleh pelapor yang tidak disebutkan namanya. Investigasi menemukan Zulkiffli telah mengatur setidaknya empat pertandingan yang mencakup 31 pelanggaran berdasarkan aturan BWF.