Kamis 04 Apr 2024 05:51 WIB
Hikmah Ramadhan

Pesan Buya AR Sutan Mansyur Tentang Jiwa Tauhid

Masuknya Tauhid ke dalam diri manusia tidak bisa secara tiba-tiba.

Iwan Setiawan
Foto: dokpri
Iwan Setiawan

Oleh : Iwan Setiawan (Dosen AIK UNISA Yogyakarta)

REPUBLIKA.CO.ID, Beliau orang Minang yang tinggal di Pekalongan dan menjadi pedagang batik yang sukses. Seperti dalam film romantik, datanglah seorang Mubaligh dari Yogyakarta bernama Kiai Haji Ahmad Dahlan.

Orang Minang tersebut setiap Kiai Dahlan datang ke Pekalongan selalu ikut pengajiannya. Orang Minang tersebut tertarik pada pengajian Kiai Dahlan karena merasakan bahwa Islam yang diajarkan oleh Kiai Dahlan adalah Islam yang berilmu dan beramal. Puluhan tahun dia mengaji kepada ulama-ulama besar tapi baru kali ini merasakan semangat Islam yang memiliki pengaruh untuk mengubah masyarakat.

Beliau bernama AR Sutan Mansyur. AR Kepanjangan Dari Ahmad Rasyid, seorang pemuda yang menikah dengan anak gurunya sendiri di perguruan Sumatera Thawalib. Istrinya bernama Fatimah. Gurunya AR Sutan Mansyur di Sumatera Thawalib itu bernama Abdul Karim Amrullah, ayah dari Buya HAMKA yang legendaris itu.

Pada Usia 26 Tahun AR Sutan Mansyur masuk organisasi Muhammadiyah dan menjadi ketua Muhammadiyah Pekalongan. Darah Mubaligh yang ditanamkan sejak kecil di Minangkabau kembali menggelegak di tanah jawa. Beberapa tahun kemudian AR Sutan Mansyur menyerahkan perusahaan batiknya kepada sahabatnya. Dan ia dengan kesungguhan hati menghabiskan waktunya untuk berdakwah hinggal ajal menjemput.

AR Sutan Mansyur menjadi Ketua Muhammadiyah 1953-1959. Setelah beliau beranjak senja, pada usia 80-an tahun beliau kembali ke kampung halamannya di Maninjau Sumatera Barat untuk menghabiskan usianya di sana.  

Seperti kesaksian dari HAMKA, Buya AR Sutan Mansyur tidak banyak menulis buku. Buku karya AR Sutan Mansyur  yang terlacak berjudul Seruan Kepada Kehidupan Baru, Jihad (1982) dan Tauhid Membentuk Pribadi Muslim (Susunan HA Malik Ahmad, 1963) hanya 3-4 buku karya Buya AR Sutan Mansyur.

Setiap tokoh yang bertemu dan mendengarkan pengajian beliau akan mengatakan bahwa pesan yang utama disampaikan Buya AR Sutan Mansyur adalah Tauhid. Jiwa Tauhid, begitulah Buya AR Sutan Mansyur memulai pembicaraan tentang pengertian Tauhid. 

Masuknya Tauhid ke dalam diri manusia tidak bisa secara tiba-tiba. "Tauhid dalam pertumbuhannya yang bermula sekali, masuk melalui didikan yang amat sederhana saja yaitu dari apa yang kita lihat sehari-hari, dari pekerjaan ibu bapak dan keluarga kita sendiri, dan dari apa yang kita dengar dari pembicaraan-pembicaraan mereka, juga dari apa yang kita alami dalam pengajian-pengajian semua itu ditampung oleh panca indera dan masuk ke dalam perasaan dengan cara sederhana." Jiwa Tauhid inilah yang akan menjadi sumber timbulnya kebajikan atau lebih tinggi lagi, orang akan melepaskan dunia dunia dari kegelapan dan membawanya kepada cahaya terang.

Tauhid berasal dari kata Wahhada/menyatukan-yuwahhidu/akan tetap menyatukan-tauhidan/sungguh disatukan. Dari susunan kata ini Buya AR Sutan Mansyur menjelaskan bahwa Tauhid adalah keyakinan dari manusia akan Allah yang maha satu. Keyakinan inilah yang diintiqadkan dalam kalbu, dibubuhkan dalam hati, dipegang keras dalam perasaan, ruh, dan pikiran. Jiwa yang bertauhid adalah jiwa yang memiliki kemampuan menjadikan perjalanan hidupnya di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah semata.

Untuk mencapai tahap Jiwa Tauhid adalah dengan ilmu. Ilmu merupakan karunia dari Allah yang dengannya kita bisa mendapat keyakinan yang mantap. Pada awal manusia lahir tentu manusia belum memiliki ilmu. "Allah mengeluarkan dari perut ibumu tidak mengetahui sesuatu apapun (Q.S An Nahl 78).

Dengan ilmu inilah pemahaman Tauhid akan menjadikan pribadi Muslim makin mantap berislam. Kemantapan inilah yang akan dinilai oleh orang lain terhadap diri kita. Jangan sampai pada kemudian hari Jiwa Tauhid yang mengakar dalam pribadi Muslim dan buahnya adalah akhlak mulia akan menjadi luntur bahkan menjadikan dirinya hina di dunia.

Jiwa Tauhid dalam masyarakat  juga harus dilihat sampai mana sekarang. Buya AR Sutan Mansyur membaginya menjadi tiga:

1. Tingkat memberi ilmu.

2. Tingkat menumbuhkan mutu dan melahirkan akhlak.

3. Tingkat beramal dan memberi isi.

Jiwa Tauhid ini akan melalui beberapa zaman, yaitu zaman ilmiyah, zaman pelaksanaan, zaman melahirkan pribadi dan zaman akhlak. Dengan melalui ketiga zaman inilah kemenangan dan kehormatan dan rahmat bagi sekalian alam. Bila kita alpa terhadapnya niscaya kita akan kecewa 'arang habis besi binasa'. Jiwa Tauhid dapat diwujudkan dengan perilaku akhlakul karimah di kehidupan pribadi, Masyarakat dan bernegara. berperilaku akhalakul karimah atau bisa juga menjunjung tinggi etika inilah yang menjadikan kehidupan menjadi beradab.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement