REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dahulu, bangsa Arab Jahiliyah berkeyakinan bahwa bulan Syawal yang penuh berkah itu tak baik untuk melangsungkan pernikahan. Para wanita jahiliyah menolak untuk dinikahi pada Syawal.
Alasannya cukup lucu, karena unta betina menolak didekati unta jantan dengan cara mengangkat ekornya. Mereka menamakan perilaku unta betina itu dengan sebutan Syalat bi dzanabiha (menolak dengan mengangkat ekornya). Dari kata “Syalat” ini pulalah orang Arab Jahiliyah mengambil asal-muasal kata Syawal. Demikian, seperti diterangkan dalam Lisanul Arab Ibnu Mundzir (Jilid 11/ halaman 374).
Setelah Islam datang, tahayul yang dipercayai bangsa Arab terkait Syawal dipatahkan Rasulullah SAW.
Beliau SAW menikahi Aisyah RA pada tahun ke-11 kenabian, tepatnya pada Syawal. Rasulullah SAW juga menjadikan keberkahan Syawal dengan tercatatnya beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam.
Perang Uhud pada tahun ke-3 H, Perang Khandaq pada ke-5 H, dan Perang Hunain pada ke-8 H, semuanya terjadi pada Syawal. Beliau SAW juga menikahi Saudah binti Zam’ah RA juga pada Syawal.
Tahayul bangsa Arab Jahiliyah ini hampir serupa pula dengan tahayul yang ada di masyarakat nusantara, salah satunya di Minangkabau.
Di beberapa tempat diyakini, menikah antara dua khutbah (Idul Fitri dan Idul Adha) diyakini akan menuai sial. Akhirnya, banyak yang khawatir untuk melangsungkan pernikahan pada Syawal gara-gara tahayul jahiliyah yang sudah dipercayai turun-temurun ini. Rasulullah SAW bersabda:
النِّكَاحُ سُنَّتِيْ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Nikah itu termasuk sunnahku. Barang siapa yang enggan mengamalkan sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR Ibnu Majah).
Tentunya, jika ingin mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan tergolong sebagai umatnya, menikah pada Syawal termasuk pada sunnah yang dinilai berpahala jika diikuti.
Mengikuti sunnah, yakni dengan mengikuti tata cara pelaksanaan sunnah itu sendiri. Jadi, dari segi waktu, menikah pada Syawal mengikuti sunnah Nabi SAW yang menikahi Aisyah RA pada bulan tersebut.
Aisyah RA menceritakan, “Rasulullah SAW menikahiku pada Syawal dan membangun rumah tangga denganku pada Syawal pula. Maka, istri-istri Rasulullah SAW yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (HR Muslim). Semenjak itu pula, Aisyah RA juga suka menikahkan shahabiyah pada Syawal pula.
Imam Nawawi menerangkan, “Di dalam hadis ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada Syawal. Para ulama kami (ulama syafi’iyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadis ini. Dan Aisyah RA, ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyah dahulu dan anggapan tahayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan kemakruhan menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga pada Syawal. Dan ini adalah batil, tidak ada dasarnya. Ini termasuk peninggalan jahiliyah yang ber-tathayyur (menganggap sial). Hal itu karena penamaan Syawal dari kata al-isyalah dan ar-raf’u(menghilangkan/mengangkat).”
Menikahnya Rasulullah SAW pada Syawal untuk mematahkan tahayul Jahiliyah yang saat itu berkembang. Maka, sepatutnya pula bagi para dai mengikuti sunnah dan menikah pada Syawal untuk mematahkan pula tahayul jahiliyah yang marak diyakini masyarakat saat ini.
Jadi, jelaslah pada Syawal terdapat hikmah dan anjuran untuk menikah. Menikah pada bulan tersebut dihitung sebagai pahala mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Di samping itu, berpahala pula untuk mematahkan tahayul yang diyakini masyarakat jahiliyah.