REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, Rasulullah SAW adalah kepala negara sekaligus menjadi hakim tunggal. Hingga dalam piagam madinah menyebutkan beliau sebagai pemimpin tertinggi, oleh karena itu, segala permasalahan merupakan wewenang sulthah qadhaiyah. Beliaulah yang menangani peradilan di antara warga masyarakat di Madinah.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al-Juhani, bahwa keduanya berkata, “Sesungguhnya seorang lelaki Badui menghadap kepada Rasulullah seraya mengadu, 'Wahai Rasulullah, aku memintamu agar jangan menghakimiku kecuali berdasarkan Kitabullah. Lawan lainnya yang lebih berpengetahuan darinya berkata, 'Ya, hakimi kami dengan Kitab Allah dan izinkan aku. Kemudian Rasulullah berkata, 'Katakanlah. Dia berkata, 'Pada dasarnya putraku keras untuk ini, jadi ia berzina dengan perempuan. Sungguh aku telah mendapat pemberitahukan bahwa putraku harus dirajam. Aku pun menebusnya dengan 100 ekor domba dan budak yang baru lahir. Kemudian aku bertanya kepada orang-orang yang berilmu. Mereka pun memberitahukan kepadaku bahwa putraku hanya mendapat cambukan sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun. Sedangkan terhadap perempuan ini, maka dirajam."
Menanggapi cerita si Badui tersebut, maka Rasulullah bersabda:
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kupastikan aku akan memutuskan di antara kalian berdua berdasarkan Kitab Allah; Budak yang baru lahir dan domba harus dikembalikan, putramu harus dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Wahai Unais, pergi dan temuilah wanita ini, jika mengakui maka rajamlah ia?" Perawi melanjutkan ceritanya, "Ia pun menemui perempuan itu dan si perempuan mengakuinya. Rasulullah segera memerintahkan perempuan itu untuk dirajam. Perempuan itu pun dirajam.”
Di samping itu, Rasulullah juga mengirimkan para hakim ke berbagai kota dan wilayah kekuasaan Islam. Beliau pernah mengirim Ali bin Abi Thalib dan Muadz bin Jabal sebagai hakim ke Yaman. Diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah telah mengutusku ke Yaman sebagai hakim. Lalu aku mengadu, Rasulullah, engkau mengutusku sedangkan aku masih muda dan tidak memiliki pengetahuan tentang peradilan.' Beliau pun meyakinkan, 'Sesungguhnya Allah akan memberi petunjuk hatimu dan meneguhkan lidahmu. Apabila dua orang yang bersengketa duduk di hadapanmu, maka janganlah mengambil keputusan hingga kamu mendengar dari pihak kedua sebagaimana kamu mendengar dari pihak pertama. Karena kebijakan yang demikian itu berpotensi mengantarkanmu dalam memberikan keputusan yang lebih jelas.” Perawi melanjutkan ceritanya, “Aku pun terus menjabat sebagai hakim, atau aku tidak ragu-ragu dalam memberikan keputusan setelah itu.”