REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jumlah BPR/S per Maret 2024 sebesar 1.566. Jumlah ini menurun sebanyak 66 sejak Des’21 (1.623 BPR/S) akibat merger atau likuidasi. Namun dengan jumlah BPR/S yang menurun justru pertumbuhan aset meningkat 7,34 persen, kredit tumbuh 9,42 persen dan DPK naik 8,60 persen.
“Konsolidasi telah mendorong BPR/S memiliki ketahanan permodalan yang baik, ditopang dengan penguatan penerapan tata kelola dan manajemen risiko sehingga nilai tambah BPR/S terhadap masyarakat, UMKM dan perekonomian semakin meningkat,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, dalam jumpa pers daring, Senin (13/5/2024).
Menurut Dian, OJK melalui POJK telah mengatur bahwa penggabungan, peleburan dan pengambilalihan BPR/S bertujuan untuk memperkuat ketahanan dan daya saing industri BPR/S.
Pemegang saham dapat secara sukarela melakukan aksi korporasi melalui penggabungan, peleburan atau melakukan pengambilalihan terhadap BPR/S untuk meningkatkan ketahanan dan daya saingnya.
Saat ini OJK telah memberikan persetujuan terhadap BPR/S yang melakukan penggabungan, termasuk terhadap BPR besar yang sudah dapat beroperasi di lintas provinsi. Sampai dengan Maret 2024, terdapat 43 BPR/S yang telah melakukan konsolidasi melalui merger menjadi 14 BPR/S. Selain itu`25 BPR/S dalam proses konsolidasi menjadi 8 BPR/S dan terdapat 32 BPR/S yang sedang dalam pemenuhan kelengkapan dokumen konsolidasi menjadi 10 BPR/S
OJK sesuai UU P2SK juga membuka peluang yang lebih luas kepada BPR/S antara lain Initial Public Offering (IPO), transfer dana, penukaran valuta asing, penyertaan modal pada lembaga penunjang, kerjasama dalam pemberian layanan keuangan hingga pengalihan piutang.
Perluasan kegiatan usaha tersebut bertujuan agar BPR/S dapat meningkatkan daya saingnya di tengah tantangan persaingan produk dan jasa keuangan berbasis teknologi. Saat ini OJK telah dan sedang menyiapkan peraturan turunannya sebagai pedoman bagi industri.
Mengenai sejumlah BPR/S yang dicabut izin usahanya oleh OJK, Dian menjelaskan setiap keputusan penudupan BPR/S telah melalui exit policy, yaitu telah melewati beberapa tahapan status pengawasan dengan intensitas pengawasan yang berbeda, dimulai dari pengawasan normal hingga BPR/S dalam Penyehatan.
Sesuai dengan amanat pasal 37 UU Perbankan sebagaimana diubah UU P2SK, diatur bahwa apabila BPR mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha, OJK berwenang antara lain membatasi kewenangan RUPS, meminta Pemegang Saham menambah modal, mengganti pengurus, memerintahkan bank melakukan/tidak melakukan transaksi tertentu, membatasi kegiatan usaha tertentu dan/atau melakukan langkah lain. Langkah tersebut merupakan contoh upaya pengawas dalam melakukan penyehatan untuk mencegah BPR/S tidak CIU.
Apabila proses penyehatan tidak berhasil mengembalikan BPR/S ke pengawasan normal, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan BPR/S dalam Resolusi dan untuk tindak lanjutnya diserahkan ke LPS. LPS akan memutuskan apakah akan menyelamatkan atau tidak. Beberapa langkah penyelamatan yang dilakukan oleh LPS a.l membentuk bridge bank, purchase and assumption, penyertaan modal sementara dan lainnya.
Namun, apabila tidak akan diselamatkan maka BPR akan dicabut izin usahanya oleh OJK (CIU) dan proses selanjutnya akan dimulai di LPS.