REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tugas mewujudkan target nol emisi Indonesia menjadi semakin penting saat ini seiring upaya mengurangi dampak krisis iklim. Pemerintah harus memastikan bahwa peluang seperti Just Energy Transition Partnership (Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan) dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan global menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius di atas level pra-industri serta mewujudkan transisi energi yang adil dan merata bagi Indonesia.
"Ini adalah tantangan yang kompleks dan memiliki banyak sisi yang mengharuskan semua pemangku kepentingan bekerja sama menghasilkan solusi inovatif di berbagai bidang," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, saat peluncuran program pembelajaran aksi baru 'Happy Energy Action Leadership (HEAL): Energy Transition, Livelihood, Systems, and Blended Finance' di Bali.
Arifin menyebut HEAL tidak diragukan lagi akan membantu mempercepat upaya menngurangi dampak krisis iklim. "Saya berharap semua pemangku kepentingan yang relevan, baik lokal maupun internasional, akan berpartisipasi untuk menyukseskan program ini,” ujarnya.
United In Diversity Foundation bersama Rocky Mountain Institute memperkenalkan program HEAL. Peluncuran dilakukan pada dialog Global Blended Finance Alliance (GBFA) di G20 Bali yang dihelat Tri Hita Karana Forum dan World Economic Forum dalam rangka World Water Forum ke-10 di Bali.
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi serta Tri Hita Karana co-host, Luhut Binsar Panjaitan, mengingatkan mata dunia kini tertuju ke Indonesia. Indonesia harus menjadi contoh sukses transisi energi yang adil, dengan menyeimbangkan pembangunan ekonomi, kesetaraan sosial, dan pemeliharaan lingkungan.
Menurutnya inisiatif seperti JETP perlu didukung oleh penyelarasan pemangku kepentingan yang sepadan, tidak hanya dalam hal teknis tetapi juga dalam membangun relasi antarinstitusi. "Oleh karena itu, saya mendorong negara-negara IPG, anggota GFANZ, kementerian dan lembaga, serta organisasi masyarakat sipil untuk bergabung dengan HEAL agar kita dapat menggunakan kesempatan ini untuk belajar bersama dalam menyelesaikan tantangan-tantangan yang ada,” katanya.
Menjelaskan motivasi program ini, Presiden United In Diversity dan Duta Besar Keliling Indonesia untuk Pasifik, Tantowi Yahya, mengatakan 36 tahun lalu terdengar seperti fiksi ilmiah membicarakan asisten kecerdasan buatan (AI) berukuran saku di tengah ancaman eksistensial lingkungan bagi umat manusia. Namun pada kenyataannya itulah realita sekarang.
"Dan kita masih belajar untuk memahami dan mengelola dampak dari gangguan tersebut terhadap tatanan masyarakat, demokrasi, budaya, dan masa depan kita,” ujarnya.
“Oleh karena itu, menatap ke depan 36 tahun menuju ambisi Indonesia mencapai nol emisi bersih pada 2060, sangat bijaksana bagi kita untuk mengantisipasi bahwa sektor energi akan mengalami gangguan yang tidak terpikirkan sebelumnya," katanya menambahkan.