Kamis 23 May 2024 22:45 WIB

Kritik Penegakan Hukum yang Timpang, Senator Filep: Negara Wajib Sediakan Rasa Keadilan

Negara wajib menyediakan rasa keadilan

Senator Filep Wamafma, menyebut negara wajib menyediakan rasa keadilan
Foto: Republika/Ronggo Astungkoro
Senator Filep Wamafma, menyebut negara wajib menyediakan rasa keadilan

REPUBLIKA.CO.ID,   JAKARTA— Masyarakat tengah dihebohkan dengan berbagai kasus pelanggaran hukum di tanah air yang terkuak dalam beberapa hari belakangan ini. Tak

jarang persoalan hukum akhirnya ditangani aparat penegak hukum usai kasus itu viral. Bahkan, tak sedikit pula masyarakat yang mengunggah persoalan hukum yang dihadapinya ke media sosial guna mendapat dukungan dari masyarakat luas dan memperjuangkan keadilan.

Baca Juga

Terkait fenomena ini, Senator Filep Wamafma mengemukakan pandangannya. Menurutnya, negara wajib menyediakan rasa keadilan bagi warga negara, bukan sebaliknya warga negara yang mencari keadilan sehingga negara terkesan abai dalam perlindungan terhadap masyarakatnya sendiri.

“Ada satu hal yang kini menjadi pandangan umum masyarakat bahwa penegakan hukum dan pencarian keadilan akan bisa dilaksanakan kalau kasusnya viral, terutama melalui media sosial. Di satu sisi kita bersyukur, artinya masyarakat kita melek hukum dan punya hati nurani hukum yang peka. Tapi di sisi lain saya harus nyatakan bahwa dalam hal ini pemerintah gagal mengayomi masyarakat, pemerintah gagal hadir dan menjadi pelindung masyarakat dan menyediakan rasa keadilan,” kata Filep (22/5/2024).

Dia lantas menyinggung sejumlah kasus seperti kasus-kasus terkait pelaksanaan tugas Bea Cukai, kasus-kasus asuransi yang berjalan di tempat, kasus-kasus pidana yang terungkap kembali seperti kasus Vina Cirebon. 

Kemudian, kasus pembunuhan yang sampai sekarang masih menjadi misteri misalnya pembunuhan Akseyna, mahasiswa UI, yang sampai delapan tahun belum terungkap. Selain itu, juga terkait kasus pertanahan masyarakat adat.

Menurut Filep, sederet persoalan ini membuat publik menilai bahwa masyarakat kecil sangat sulit mencari keadilan seandainya saja tidak viral. Pace Jas Merah ini pun memberi kritik tajam terhadap tugas negara sesuai amanat konstitusi.

“Sebagai contoh, saya ikuti kasus Rempang di Batam. Persoalan investasi yang berdampak pada perampasan wilayah Masyarakat Adat di Pulau Rempang. Masyarakat bahkan berhadapan dengan aparat. Atau Masyarakat Adat Rendu, di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, tempat dibangunnya Bendungan Lambo. Proyek Bendungan Lambo ditengarai merampas perkebunan, ruang hidup, dan tempat bahan baku tenun alami masyarakat disana,” urainya.

Tak hanya itu, Filep menambahkan catatan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menyatakan bahwa sekitar 2.578.073 hektare wilayah adat dirampas oleh negara dan korporasi. Hal ini bertentangan dengan amanat Konstitusi Pasal 18B dimana negara seharusnya menghormati eksistensi masyarakat adat.

“Konstitusi sudah mengaturnya supaya ada keadilan, atau supaya masyarakat adat tidak bersusah payah mencari keadilan, karena harusnya pemerintah-lah yang menyediakan keadilan itu. Bila kita cermati, persoalan pertanahan ini selalu berkait erat dengan pembangunan infrastruktur dan kini dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), ini harus menjadi bahan kajian dan evaluasi,” kata Filep.

Dia mengatakan, klasus HAM di lain sisi juga sama. Ada 17 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi, antara lain Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, dan Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.

Selain itu, ada Wasior 2001-2002, Wamena 2003, Pembunuhan Dukun Santet 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, Rumah Geudong 1989-1998, Timang Gajah 2000-2003 dan Kasus Paniai 2014. Seluruh peristiwa tersebut sudah diselidiki oleh Komnas HAM, namun baru Kasus Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura dan Paniai yang telah memiliki putusan pengadilan. “Itupun hasilnya belum memberikan keadilan bagi para korban,” ujar Filep.

Wakil Ketua Komite I DPD RI ini pun mengkritik penegakan hukum yang dilalui masyarakat. Ia menyebutkan bahwa berdasarkan sejumlah kasus menunjukkan perjuangan masyarakat mencari keadilan pun sangat lama dengan proses pengadilan yang panjang, hal ini berdampak pada semakin jauh keadilan yang dicari oleh rakyat.

Celakanya, kata dia, oknum penegak hukum tertentu seperti tidak serius menangani kasus yang dilimpahkan kepada mereka. Dulu ada kasus Mohamad Irfan Bahri, remaja asal Madura ditetapkan sebagai tersangka usai membela diri dari serangan pelaku begal pada 2018 lalu, atau kasus ZA di Malang yang dihukum penjara padahal membela diri juga. 

“Ini kan semacam ketidakprofesionalan aparat penegak hukum. Atau kasus Nenek Minah memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) yang berujung jadi tersangka. Lagi-lagi, no viral no justice. Di sinilah saya kembali bertanya, mengapa masyarakat sulit mencari keadilan di tengah negara hukum dan demokrasi ini?,” kata dia mempertanyakan. 

Dia menambahkan, dari aspek warga negara secara umum, amanat Konstitusi sudah jelas yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah atau kemanusiaan.

Pembelajar hukum pasti paham bahwa penegakan hukum dan pencapaian keadilan itu bisa berhasil jika aturan yang bagus didukung oleh aparat yang berintegritas.

Kedua hal ini yang akan menciptakan rasa percaya (trust) masyarakat, bahwa masyarakat akan mendapatkan keadilan karena keadilan sudah disediakan negara. 

“Saya berharap berbagai kejadian ini bisa menjadi catatan dan evaluasi pemerintah terutama institusi penagak hukum, sehingga masyarakat tak kesulitan mencari keadilan,” kata dia.    

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement