STOCKHOLM -- Perdebatan mengenai risiko produk rokok elektrik dan produk alternatif lainnya dibahas oleh ahli kesehatan internasional pada forum "No Smoke, Less Harm" pada 7 Mei 2024 di Stockholm. Pakar nikotin dan kesehatan publik, Karl Fagerstrom, menyampaikan Swedia adalah salah satu contoh sukses penerapan produk alternatif tembakau sebagai bagian kampanye berhenti merokok.
“Perbedaan antara rokok dan penggunaan produk tanpa asap sangat penting. Meskipun nikotin bersifat adiktif, tetapi tidak menyebabkan penyakit serius yang berhubungan dengan merokok. Temuan kami mendukung pergeseran fokus dari stop nikotin total menjadi beralih dengan alternatif yang tidak terlalu berbahaya bagi mereka yang tidak dapat berhenti sepenuhnya,” kata Dr. Karl Fagerström dalam webinar No Smoke, Less Harm yang dikutip pada Jumat (23/5/2024).
Karl menyebut Swedia adalah best practice ketika produk tembakau tanpa asap diberikan ruang. Meskipun konsumsi nikotin di Swedia dan negara-negara Eropa lain secara rata-rata hampir sama, tetapi tingkat kanker paru-paru Swedia jauh lebih rendah sebesar 41% dan kematian akibat tembakau lebih sedikit.
Karl menilai hal ini terjadi karena produk nikotin yang digunakan oleh warga Swedia merupakan produk alternatif tembakau seperti kantung nikotin atau rokok elektrik.
"Pengalaman di Swedia menunjukkan bahwa mengatasi misinformasi tentang nikotin di masyarakat dapat menghasilkan kebijakan kesehatan yang lebih melindungi masyarakat," ujar Karl.
Pelajaran Eropa untuk Indonesia
Cara negara Eropa menurunkan angka perokok pernah diulas oleh pakar kesehatan publik Laifa Annisa. Laifa menyarankan pemerintah untuk meniru langkah Belanda dalam menangani kecanduan rokok. Di Belanda, pemerintah memanfaatkan berbagai medium untuk membantu penyembuhan kecanduan, termasuk menggunakan produk alternatif sebagai instrumen.
"Saya tahu di Belanda mereka punya klinik untuk mengatasi kecanduan, salah satunya untuk rokok. Jadi memang ada klinik khusus smoking cessation (upaya berhenti merokok) yang terprogram. Beberapa menggunakan produk alternatif (sebagai instrumen)," kata Laifa.
Menurut Laifa, pendekatan ini dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia, terutama dalam menciptakan program yang terstruktur menggunakan produk alternatif tembakau untuk mengurangi angka perokok dewasa.
Walau demikian, masih ada tantangan bagi masyarakat yang merokok. Sebuah riset terbaru dari IPSOS (2023) menunjukkan bahwa sekitar 70% perokok Indonesia menganggap vape (salah satu produk alternatif tembakau) sama atau lebih berbahaya daripada rokok konvensional. Anggapan ini tentu perlu diluruskan apabila Indonesia ingin belajar dari negara lain untuk menurunkan angka prevalensi perokok di dalam negeri.
Seruan untuk regulasi yang tepat sasaran bagi industri vape adalah peluang untuk kemajuan. Dengan transparansi, akuntabilitas, dan praktik yang bertanggung jawab, regulasi dapat meningkatkan standar kesehatan masyarakat sambil mendorong inovasi.