REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Untuk pertama kalinya selama berpuluh tahun belakangan, tentara Mesir dan Israel kembali terlibat baku tembak. Pemboman keji Israel di kamp penuh pengungsi di Rafah disebut memicu baku tembak yang kabarnya menewaskan dua tentara Mesir tersebut. Bagaimana sejarah konflik kedua negara itu?
Tercatat dalam arsip Republika, konflik Israel-Mesir tak lepas dari skema luas Konflik Israel-Arab. Konflik itu diawali oleh keputusan PBB pada 1947, yang membagi wilayah Palestina menjadi dua bagian: untuk Yahudi dan Palestina. Pihak Yahudi menerima, namun negara-negara Arab sebagai pemilik tanah menolak keras pembagian itu.
Konflik meruncing dan perang terbuka tak terhindari ketika pada 1948, tokoh Yahudi Ben Gurion memproklamasikan negara Israel di bumi Palestina. Tentara Yordania dan Mesir bergabung menggempur kekuatan Israel. Yordania berhasil menguasai Tepi Barat, dan Mesir merebut Jalur Gaza (keduanya wilayah Palestina). Kekuatan Lebanon dan Suriah kemudian menyusul bergabung. Namun, perang selama setahun ini akhirnya dimenangkan Israel, dan dicapai gencatan senjata. Akibat perang ini, sekitar 750.000 warga Palestina terusir dari negerinya menjadi pengungsi di negara-negara Arab sekitar.
Kontak senjata berlanjut antara Mesir dengan Israel yang dibantu Inggris dan Prancis, ketika Presiden Mesir Jamel Abdul Nasir, pada 1956 menasionalisasi Terusan Suez. Dalam perang itu, Israel sempat menguasai sebagian wilayah Sinai, namun kemudian Mesir berhasil merebut kembali.
50 tahun lalu, tepatnya 1967, perang kembali pecah antara Israel dan negara-negara tetangganya. Perang dikenal dengan berbagai nama, mulai dari Perang 1967, Perang Enam Hari, atau Perang Arab. Namun, sejumlah ilmuwan menilai penyebutan Perang 1967 lebih netral.
Meski hanya berlangsung selama enam hari, 5-10 Juni 1967, imbasnya terasa hingga setengah abad setelahnya. Perang pada 1967 adalah hasil dari kulminasi ketegangan sejak lama antara Israel dan negara-negara Arab. Perbatasan antara Mesir dan Israel saat itu relatif kalem. Titik panas ada di perbatasan antara Israel dengan Suriah.
Saat itu, Suriah berupaya merisak Israel dan melindungi pejuang-pejuang Palestina. Israel menyebut mereka teroris dan mencoba memukul mundur. Perang pecah, saat itu semua pihak terlibat, mulai dari negara-negara Barat hingga Uni Soviet.
Menurut data Martin Gilbert dalam The Routledge Atlas Of The Arab-Israeli Conflict, perang yang dimulai pada Mei 1967 itu melibatkan 264 ribu personel pasukan Israel dengan 800 tank dan 300 pesawat tempur. Pasukan Arab merupakan pasukan gabungan Mesir, Suriah, dan Yordania. Mereka terdiri atas 340 ribu personel pasukan, 1.800 tank, dan 660 pesawat tempur.
Pada 5 Juni, Israel melancarkan serangan kejutan. Aksi yang disebut Operation Focus itu bertujuan menghancurkan pasukan udara Arab di darat. Sasaran pertama adalah Mesir.
Tel Aviv sudah berlatih operasi ini selama bertahun-tahun sehingga gelombang pertama begitu dahsyat. Tidak seperti Mesir dan pasukan Arab lain, pasukan Israel banyak belajar dari perang dan menyelesaikan tugas-tugas mereka.
Mereka dengan mudahnya melancarkan ratusan misi penghancuran di setiap pangkalan udara Mesir, Yordania, dan Suriah. Permintaan bantuan dihalangi Israel dan berujung pada serangan lanjutan.
Israel sukses besar. Tel Aviv bersorak. Serangan mereka ternyata lebih baik daripada yang sebelumnya direncanakan. Mereka sukses mengejutkan musuh. Hari berikutnya, Israel menyerang Yordania dan Suriah.
Misi ini pun sukses, Israel mengendalikan udara. Bukannya tanpa perlawanan, Raja Yordania saat itu membalas serangan dan mengerahkan aliansi militer. Begitu juga dengan Mesir yang melakukan perlawanan di darat.
Selama lima hari, Israel berhasil mencaplok Jalur Gaza, Gurun Sinai Mesir, Dataran Tinggi Golan Suriah, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur dari Yordania. Untuk pertama kalinya dalam dua milenium, Israel berhasil menguasai situs Yahudi yang juga tempat suci umat Islam.
Menurut Encyclopaedia Britannica, kerugian yang diderita bangsa Arab amat dahsyat. Korban tewas di pihak Mesir lebih dari 11 ribu orang, Yordania mencapai 6.000 orang, dan Suriah kehilangan 1.000 warganya. Bandingkan dengan Israel yang kehilangan 700 nyawa.
Arab juga menderita pukulan berat di persenjataan dan perlengkapan. Kekalahan telak ini menggerogoti moral masyarakat sekaligus kaum elite Arab. Pemimpin Mesir Gamal Abdul Nasser mundur pada 9 Juni. Namun, massa bergerak meminta ia tetap bertahan di kursi kepresidenan. Sementara, Israel jelas memasuki masa penuh euforia kemenangan.
Perang ini paling buruk berimbas pada warga di Palestina. Sejak saat itu, Israel memulai okupasi daerah Palestina. Mereka menganeksasi Yerusalem timur dan Dataran Tinggi Golan. Aksi ini tidak diakui secara internasional. Perang 1967 membuat Israel semakin dikukuhkan menjadi penjajah.
Perang Yom Kippur... baca halaman selanjutnya