Ini Alasan PBNU Sebut Berhaji dengan Visa Non-Haji Cacat dan Berdosa
SAJADA.ID--Melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci menjadi dambaan setiap umat Islam. Bahkan jauh-jauh hari mereka telah berupaya meraih cita-cita tersebut. Sehingga melalui perjuangan yang cukup panjang, akhirnya sekian tahun kemudian, niat suci terkabul.
Namun demikian, tak semua proses berjalan panjang. Banyak pula yang gagal berangkat karena berbagai alasan. Entah karena sakit, meninggal dunia, atau tak kuat menanti waktu haji yang sekian lama.
Saat ini banyak tawaran berhaji tanpa antre. Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan memberikan visa haji non-kuota yang diberikan melalui undangan kerajaan ataupun melalui travel haji khusus. Belakangan ini ada sejumlah oknum travel yang memanfaatkan peluang menarik jamaah dan memberikan iming-iming berhaji tanpa antre. Dampaknya mereka dideportasi dari Tanah Suci.
Menyikapi hal ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa haji dengan visa non-haji atau tidak prosedural itu sah. Namun hal itu dinilai cacat dan berdosa.
Keputusan berhaji dengan visa non-haji berdosa diputuskan Syuriyah berdasarkan musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah NU yang digelar pada 28 Mei 2024 di Jakarta.
Musyawarah dipimpin oleh Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori. Musyawarah berlangsung secara hybrid, daring dan luring.
“Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa haji dengan visa non-haji (tidak prosedural) adalah sah akan tetapi cacat dan yang bersangkutan berdosa,” demikian dikutip dari Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, Kamis (30/5/2024).
Sejumlah pertimbangan mendasari putusan tersebut Pertama, syarat utama dari ibadah haji adalah istitha'ah (memiliki kemampuan) dalam berbagai aspeknya, mulai mampu secara materi untuk biaya haji dan biaya keluarga yang ditinggalkan, mampu fisik dengan kesehatan yang baik untuk mendukung pelaksanaan ibadah haji hingga mampu untuk menghadirkan rasa aman selama berada di Tanah Suci.
Secara umum, kemampuan fisik (badan), bekal dan transportasi menjadi hal yang paling utama dalam istitha'ah seseorang dalam ibadah haji maupun umrah. Ketiga syarat istitha'ah ini telah diatur dengan baik oleh otoritas lembaga pelaksana ibadah haji, baik pemerintah atau negara yang memberangkatkan jemaah haji (termasuk Indonesia) maupun pemerintah yang menjadi penguasa wilayah sebagai lokus pelaksanaan ibadah haji (Kerajaan Arab Saudi). Pengaturan tersebut, salah satunya adalah pembatasan kuota haji.
Kedua, di Indonesia, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat dua jenis visa haji indonesia yang legal, yaitu visa haji kuota Indonesia (kuota haji reguler dan haji khusus) dan visa haji mujamalah (undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi).
Haji dengan visa mujamalah ini populer dengan sebutan haji furoda, yakni haji yang menggunakan visa undangan dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Jamaah yang menggunakan visa ini wajib berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Ketiga, banyak oknum yang memanfaatkan situasi antrean panjang beribadah haji dengan melakukan penawaran haji menggunakan visa non haji (bukan visa haji). Banyak penawaran berhaji tanpa antre dengan visa ziarah multiple (kunjungan berulang), visa amil (pekerja), visa turis, visa umrah, dan jenis visa lainnya. Praktik haji seperti ini adalah praktik haji non prosedural, karena haji non kuota.
Keempat, banyak masyarakat yang tergiur haji menggunakan berbagai jenis visa tersebut. Haji non prosedural dianggap menjadi solusi bagi masyarakat yang tidak sabar menunggu antrean haji yang cukup lama. Namun, banyak masyarakat yang tidak mempertimbangkan berbagai faktor sebagai akibat dari haji non prosedural.
"Mereka tidak memahami regulasi, tidak mengetahui hak-haknya, dan tidak mengutamakan sisi pelindungan sebagai WNI di luar negeri. Berbagai faktor tersebut yang sering tidak terinformasikan dan tidak dipertimbangkan masyarakat secara matang sebelum memilih haji non prosedural," lanjut pernyataan Syuriyah NU.
Sementara itu haji dengan visa non-haji menjadi cacat karena:
1. Melanggar aturan syari'at yang mewjibkan menaati perintah ulil amri dan mematuhi perjanjian.
2. Praktik haji dengan visa non haji bertentangan dengan syariat. Orang yang haji dengan menggunakan visa non-haji (tidak sesuai prosedur/ilegal) bertentangan dengan substansi syariat Islam karena praktik haji tidak prosedural ini berpotensi membahayakan dirinya sendiri dan juga jamaah haji lainnya.
3. Praktik haji ilegal selain telah mencaplok (ghashab) tempat yang menjadi hak tempat yang disediakan untuk jamaah haji resmi, mereka juga memperparah kepadatan jamaah di Armuzna maupun di Makkah, yang borpotensi mempersempit ruang gerak jamaah haji resmi sehingga dapat menimbulkan madharat bagi diri sendiri dan juga jamaah lain.
Semoga dengan pernyataan ini, banyak umat Islam memperbaiki diri. Jangan terlalu memaksakan diri untuk berangkat haji melalui cara-cara ilegal. Pastikan berangkat haji dengan mendapatkan visa haji resmi atau bisa mujamalah. Jika tidak dapat, maka sebaiknya dibatalkan. Sebab, risikonya sangat besar, yakni dideportasi bahkan lebih menyesakkan adalah malu karena tak bisa menyelesaikan haji.
(Syahruddin El Fikri/sajada.id)