REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia sudah merdeka pada 17 Agustus 1945. Namun, saat itu perjuangan masih berlangsung di sejumlah daerah. Para pejuang Indonesia tak ingin memberi tempat para penjajahan, apalagi menyerahkan dan kalah atas pendudukan lagi.
Bandung, Jawa Barat, satu dari sekian daerah yang masih berjuang pascakemerdekaan. Dalam tulisan Peristiwa Bandung Lautan Api yang terbit di laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kondisi keamanan dan pertahanan Indonesia belum stabil setelah kemerdekaan. Mengutip buku Sejarah Nasional Indonesia VI karya Marwati Djanoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, pertempuran melegenda bernama Bandung Lautan Api.
Peristiwa itu diawali dengan kedatangan pasukan sekutu (Inggris) yang dipimpin Brigade MacDonald pada 12 Oktober 1945. Sejak awal, hubungan sekutu dan pemerintah Indonesia setempat sudah memanas. Sekutu meminta seluruh senjata api milik penduduk diserahkan pada mereka, kecuali Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Polisi.
Kondisi semakin memanas, ketika orang-orang Belanda bebas dari kamp tahanan. Mereka mulai mengacaukan kondisi kemanan. Akibatnya, bentrokan antara TKR dan sekutu tak terhindarkan.
Pada malam 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap markas sekutu di Bandung bagian utara. Tiga hari pascapenyerangan, MacDonald mengultimatum Gubernur Jawa Barat segera mengosongkan wilayah Bandung bagian utara, termasuk rakyat dan tentara.
Dengan ultimatum itu, sekutu membagi Kota Bandung menjadi dua, bagian utara untuk wilayah kekuasaan sekutu dan selatan untuk wilayah kekuasaan pemerintah Indonesia. Namun, ultimatum itu dijawab Indonesia dengan mendirikan pos-pos gerilya di berbagai tempat.
Selama Desember 1945, terjadi beberapa pertemputan di berbagai tempat, seperti Cihaurgeulis, Sukajadi, Pasar Kaliki, dan Viaduct. Sekutu juga berusaha merebut Balai Besar Kereta Api, tetapi gagal. Memasuki awal 1946, pertempuran semakin berkobar secara sporadis.
Serangan sporadis Indonesia dan kegagalan sekutu mencari penyelesaian di tingkat daerah, membuat posisi sekutu terdesak. Mereka melakukan pendekatan terhadap pihak petinggi pemerintahan Indonesia.
Pada 23 Maret 1946, mereka menyampaikan ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Sultan Syahrir. Mereka meminta, selambat-lambatnya pukul 24.00 WIB pada 24 Maret 1946, pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung bagian selatan sejauh 10 sampai 11 kilometer dari pusat kota.
Namun, tentara menolak ultimatum tersebut. Alasannya, mustahil memindahkan ribuan pasukan dalam waktu singkat. Dengan alasan menyelamatkan Tentara Republik Indonesia (TRI) dari kehancuran, PM Syahrir mendesak Jenderal Mayor Nasution memenuhi ultimatum tersebut. PM Syahrir berpendapat TRI belum mampu menandingi kekuatan pasukan sekutu. Nasution menjabat sebagai Panglima Divisi III/Siliwangi.
Dalam pertemuan antara Nasution dan para Komandan TRI, para pemimpin laskar, dan aparat pemerintahan terjadi kesepakatan membumihanguskan Bandung sebelum kota itu ditinggalkan. Menurut rencana, bumi hangus dilakukan pada 24 Maret pukul 00.00 WIB. Ternyata, pelaksanaan bumi hangus lebih awal, yakni pukul 21.00 WIB.
Gedung pertama yang diledakkan adalah Bank Rakyat. Kemudian, pembakaran di Banceuy, Cicadas, Braga, dan Tegalega. Anggota TRI juga membakar asrama-asrama mereka. Pada 24 Maret 1946 malam, bukan hanya pasukan bersenjata yang meninggalkan Bandung, seketika kota itu terbakar.