REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Situasi politik Jakarta sejak akhir 1950-an sampai awal 1960-an dalam keadaan bergolak. Bung Karno, yang baru saja mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 setelah mendepak demokrasi liberal, mengajak rakyat menjadi kekuatan progresif revolusioner.
Bung Karno juga mengutuk keras kebudayaan asing, seperti dansa-dansi, musik twist, dan lagu-lagu The Beatles, sampai memenjarakan kelompok musik Koes Plus. Bahkan, dalam berpakaian pun tidak dibenarkan wanita mengenakan busana you can see dan rambut sasak. Celana panjang blue jeans dan celana ketat juga diharamkan. Termasuk, rambut gondrong yang menjadi incaran aparat untuk memangkasnya secara paksa.
Dalam situasi demikian, Orkes Melayu (OM) --saat itu dangdut belum muncul-- menjadi tontonan yang paling digemari masyarakat. OM main di berbagai pesta hajatan, seperti resepsi perkawinan dan khitanan. Pada pertengahan 1950-an muncul penyanyi Melayu, Ellya Agus, yang kemudian setelah menikah dengan seorang keturunan India berganti nama menjadi Ellya Khadam.
Anak Kampung Kawi, Pedurenan, Jakarta Selatan, itu memulai karier menyanyi dari balik jendela. Itu terjadi di Kwitang, Jakarta Pusat, di kediaman seorang keturunan Arab. Ia menyanyi bukan di depan panggung, tapi mikrofon diantarkan kepadanya yang tengah duduk di balik jendela. Pendek kata, dalam waktu dekat, nama putri Betawi kelahiran 23 Oktober 1938 ini meroket. Dia mengalahkan penyanyi utama Melayu saat itu, Johana Satar dan Hasnah Tahar.