REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Dalam sidang tahunan MPR Agustus 2003, ada tuntutan agar Ketetapan (Tap) MPRS No 25/MPRS/1966 dicabut, dan ajaran komunis yang dilarang melalui Tap tersebut dibolehkan kembali. Tap ini keluar setelah ditumpasnya pemberontakan G30S/PKI pada 30 September 1965. Kini, lepas dari adanya berbagai pendapat tentang peristiwa 48 tahun silam, bagi saya hal itu merupakan pengalaman tak terlupakan.
Kala itu, sebagai wartawan pemula di Antara saya ditugaskan meliput pidato Presiden Soekarno pada Rapat Teknisi di Istora Senayan. "Bung cukup dengar dari televisi. Tapi, yang Bung liput hanya amanat Bung Karno. Pidato-pidato lainnya tak usah," kata pimpinan redaksi. Kala itu TVRI yang baru mulai siaran sore hari diwajibkan siaran langsung bila presiden memberikan amanat pada rapat-rapat umum yang hampir tiap malam digelar.
Dalam pidatonya, Bung Karno menyitir dialog antara Kresna dan Arjuna dalam perang Baratayudha. Arjuna ragu-ragu karena dalam perang ini ia harus berhadapan dengan kerabat dan gurunya sendiri. Situasi menjelang G30S memang sangat memanas dan menegangkan.
Hampir tiap hari demo-demo kelompok kiri bermunculan. Sasaran utamanya, antara lain menuntut pembubaran HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia) yang dituduh antek DI/TII dan Masyumi yang kala itu telah dilarang pemerintah.
Hanya beberapa hari menjelang G30S, Aidit dalam rapat umum CGMI (mahasiswa PKI) mengatakan, "CGMI lebih baik pakai sarung kalau tidak bisa bubarkan HMI." Kala itu HMI merupakan organisasi mahasiswa militan yang banyak pengikutnya dan dapat mengimbangi kekuatan mahasiswa kiri.