REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Pada akhir 1970-an dan 1980-an, surat-surat kabar sering memberitakan penemuan mayat dalam karung di jalan. Bahkan, ada yang nyungsep, mengambang di sungai, serta tergeletak di semak-semak. Masyarakat kala itu sudah menduga mayat-mayat itu korban petrus.
Petrus alias penembak misterius ada untuk membasmi preman di Jakarta. Operasi dilakukan atas perintah Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani. Operasi ini pernah mendapat kecaman dari kelompok hak asasi manusia, termasuk dari luar negeri.
Aksi kejahatan di Jakarta memang sudah berlangsung sejak lama. Dulu, peristiwanya disaksikan banyak orang. Setelah melakukan perampasan, penjahatnya tidak melarikan diri, tapi berkeliaran di tempat itu untuk beberapa menit kemudian mengulangi kejahatannya.
Itulah yang membuat Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ketika itu, sewot dan menyatakan, "Banditisme di Ibu Kota harus ditumpas!" Tapi, kejahatan tidak pernah surut.
Pada 2005, Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Sutanto setelah dilantik untuk membuat kontrak kerja dengan para kapolda. Taruhannya, sukses tidaknya berantas judi, narkoba, serta perang terhadap premanisme.
Yang saya alami pada 1950-an, kriminalitas di Jakarta jauh lebih kecil, bahkan lebih baik dibandingkan Singapura. Dulu, ada penodongan dengan pistol mainan. Pada 1950-an hingga 1960-an, penjahat hanya mengincar harta benda korban dan masih mengindahkan nyawa, kecuali penjahat kelas kakap, seperti Kusni Kasdut dan Bir Ali, anak Betawi dari Cikini, Jakarta Pusat.
Kedua penjahat itu merampok Ali Bajened, keturunan Arab di Cikini. Mereka juga merampok tempat penyimpanan emas di Museum Nasional, Jalan Merdeka Barat. Setahu saya, itulah kejahatan terbesar pada 1950-an dan 1960-an.
Bagusnya keamanan Ibu Kota tidak dapat dilepaskan dari Kapten Imam Syafiie. Dengan organisasi COBRA-nya, perwira menengah Angkatan Darat ini menguasai preman di Jakarta. Bang Pi'ie merupakan perwira yang diperbantukan pada Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR).
Sebelumnya, dia adalah jagoan Senen. Ketika revolusi fisik melawan Belanda, ia menghimpun pejuang di Senen dan sekitarnya.