Senin 30 Jan 2017 07:00 WIB

Soeharto, Supersemar, dan Pembubaran PKI

Naskah Supersemar
Foto: IST
Naskah Supersemar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Pada saat Orde Baru berkuasa, hanya sehari setelah menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), Pak Harto menahan dan memenjarakan sejumlah menteri Kabinet Dwikora yang dipimpin Presiden Sukarno. Di antara mereka adalah wakil perdana menteri I/menlu Dr Subandrio dan ketua MPRS Chaerul Saleh.

Penahanan para pejabat tinggi negara ini diumumkan Pak Harto sebagai pengemban Supersemar hampir bersamaan dengan dibubarkannya PKI beserta ormas-ormas yang berafiliasi. Di antara menteri-menteri yang langsung dipenjarakan adalah Ir Surahman, sekjen Partai Nasional Indonesia (PNI); Menteri Penerangan Mayjen Achmadi; Oei Tjoe Tat SH; dan Imam Syafe'i bekas jagoan Senen yang baru diangkat Bung Karno sebagai menteri keamanan nasional. Penangkapan para menteri ini cukup menghebohkan karena diumumkan secara luas melalui TVRI dan RRI.

Apalagi Subandrio merupakan orang nomor dua di Indonesia dan menjadi kepercayaan presiden Sukarno. Berlainan dengan Subandrio yang kala itu menjadi sasaran demo-demo antikomunis, Chaerul Saleh adalah tokoh yang sebelumnya merupakan tokoh Murba, musuh utama PKI.

Bahkan, yang saya ingat dalam suatu sidang kabinet paripurna di Istana Bogor, Chaerul Saleh terang-terangan menyerang ketua CC PKI DN Aidit dan saling tuduh yang kemudian diketahui secara luas oleh masyarakat. Peristiwa ini terjadi sebelum G30S/PKI.

Ketika Jusuf Muda Dalam, mantan menteri urusan Bank Sentral diadili, cukup menghebohkan. Waktu itu, seperti juga para pimpinan angkatan bersenjata dan kepolisian, mendapatkan jabatan sebagai menteri.

Termasuk, ketua dan para wakil ketua MPR dan DPR semuanya mendapat gelar menteri koordinator (menko) dan menteri yang menyebabkan kabinet di masa itu dijuluki kabinet 100 menteri. Jusuf Muda Dalam di pengadilan oleh hakim diarahkan kepada soal moral.

Kala itu, inflasi mengamuk. Defisit pada 1950-an -kabinet parlementer- hanya sekitar 10 hingga 30 persen, tetapi sejak 1959 meningkat sekitar 100 persen. Pada zaman 100 menteri, inflasi melonjak hingga 3.000 persen. (Dr AH Nasution dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas jilid 6).

Menurut Jenderal Nasution, yang ketika itu menjabat sebagai menko hankam/pangab, Bung Karno beralasan tingginya inflasi karena biaya pemulihan keamanan dan keutuhan republik serta konfrontasi militer. Namun, seperti diungkapkan Nasution, pada 1959-1960 ABRI/militer hanya punya anggaran rutin, termasuk operasi keamanan masing-masing sebanyak 32 dan 34 persen. Sementara 90 persen dari anggaran negara.

Pada masa Orde Baru, yang sebelumnya bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya, korupsi tidak kalah gesitnya dilakukan oleh para oknum pejabat. Hanya beberapa tahun setelah memerintah, wartawan senior Mochtar Lubis telah mengemukakan korupsi besar-besaran di Pertamina yang kala itu dipimpin Ibnu Sutowo.

Akan tetapi, ungkapan Mochtar Lubis itu sulit disiarkan pers karena 'sensor pers' kala itu sangat ketat. Maklum saat itu, apabila ada berita yang tidak menyenangkan pemerintah, Departemen Penerangan tinggal menelepon agar tidak dimuat.

Namun, dalam sebuah kampanye pemilu di Lapangan Banteng, jurkam PPP melontarkan kata-kata: "Kalau korupsi di Pertamina dibeliin cendol semua akan kebagian." Tentu saja dengan nada mengejek.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement