Selasa 25 Feb 2020 07:50 WIB

Jakarta dan Banjir yang tak Kunjung Berakhir

Banjir paling besar terjadi di Batavia tahun 1872.

Kapal VOC di Pelabuhan Batavia.
Foto: Gehetna. nl
Kapal VOC di Pelabuhan Batavia.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Jakarta kini kembali dilanda banjir. Padahal curah hujan belum mencapai puncaknya. Baru sekitar Maret mendatang. Sayangnya banjir tahun ini diperkirakan bakalan lebih luas karena daya serap air tanah semakin rendah dan penyempitan sungai semakin parah. Di samping pemanasan global.

Tidak hanya itu, para pengembang juga dituding sebagai salah satu penyebab. Bila diingat 80 persen daratan Jakarta sudah dipadati bangunan. Padahal dalam Rencana Induk Jakarta 1965 – 1985 ruang terbuka hijau sebagai taman kota seharusnya 60 persen.

Dulu, daerah Kebayoran Baru dan Menteng semasa gubernur Ali Sadikin hanya diperuntukkan bagi perumahan. Dari kedua kawasan di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, para pemukimnya pergi bekerja keluar. Kini kedua daerah itu berdiri perkantoran dan berbagai pusat bisnisyang membludak.

Dulu kawasan Kuningan, Setiabudi dan Kemang merupakan pusat bisnis susu. Ratusan warga Betawi dengan mengayuh sepeda pagi dan sore mengantarkan susu yang dikemas dalam botol ke pelanggan-anggannya di Menteng, Cikini dan Kebon Sirih. Sementara warga Betawi berduit memelihara puluhan sapi untuk diperah susunya.

Jakarta yang terletak di dataran rendah, sejak zaman Kerajaan Taruma Negara sering dilanda banjir. Peristiwa yang terjadi 15 abad lalu itu sempat terekam dalam Prasasti Tugu, di Jakarta Utara yang kini disimpan di Museum Sejarah Jakarta. Raja Purnawarman yang memimpin kerajaan ini, pernah menggali Kali Chandrabagha (Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Mati di Tangerang) sepanjang 12 km untuk mengatasi banjir. Untuk menyukseskan proyek tersebut sang raja memotong seribu ekor sapi.

Para sejarawan kemudian membuat perkiraan, bila satu ekor sapi dimakan 100 orang, maka penduduk yang ada di sekitar kawasan ini 15 abad lalu sudah ratusan ribu jiwa. Ketika melakukan penggalian tersebut, kebijakan permukiman disusun berdasarkan prinsip keseimbangan ekologi. Karena itu rawa-rawa di pedalaman boleh diuruk untuk permukiman. Namun Sang Raja melarang rakyatnya untuk menguruk rawa-rawa di pantai, karena merupakan kawasan resepan air.

Sayangnya, ratusan hektar kawasan hutan lindung dan resepan air di Kapuk Muara dan Pantai Indah Kapuk, yang dulu dilindungi kini disulap jadi hutan beton. Ekologi Jakarta juga semakin rusak sejak dibukanya Pluit dan Muara Karang menjadi wilayah permukiman. Padahal, semula kedua daerah itu merupakan daerah resepan air.

Tidak heran, kalau dalam banjir pada 2002 jalan tol Cengkareng menjadi lumpuh karena banjir. Anehnya, para konglomerat yang tidak betah melihat lahan konservasi itu terpelihara, tidak merasa bersalah atas kecerobahan ini. Padahal, perumahan-perumahan mewah yang mereka bangun juga diterjang banjir. Kalau sekarang 80 persen daratan Jakarta sudah dipadati bangunan, jangan heran kalau jumlahnya akan terus bertambah jika masalah lingkungan dan penghijauan tidak diperhatikan.

Ketika terjadi banjir besar bulan Februari 2007, sejumlah warga yang berdiam di bantaran sungai menolak ketika mereka hendak dipindahkan ke rumah susun yang akan dibangun Pemda DKI. Mereka menganggap banjir yang sudah menjadi langganan hampir tiap tahun akhir menjadi hal biasa.

Mungkin situasinya agak berbeda, ketika Bang Ali di masa lalu melakukan penertiban terhadap penduduk bantaran sungai di Banjir Kanal. Dia telah memindahkan sekitar tiga ribu rumah pada daerah sepanjang 2,4 km di kedua sisi kanal.

Di zaman Belanda, bukan tidak pernah terjadi banjir. Banjir paling besar terjadi di Batavia tahun 1872, yang menyebabkan sluisbrug (pintu air) di depan Istiqlal sekarang, jebol. Akibatnya Harmoni, Rijswijk (Jl Veteran) dan Noordwijk (Jl Juanda) tidak dapat dilalui kendaraan. Demikian juga Jl Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Banjir besar juga pernah terjadi di Jakarta pada 1932. Banjir yang terjadi pada 9 dan 10 Januari 1932 disebabkan oleh hujan yang turun selama dua hari dua malam dengan curah mencapai 150 mm. Akibat banjir ini mereka yang tinggal di Jl Sabang dan sekitarnya tidak bisa keluar rumah yang tergenang air. Banyak penduduk tinggal di atap-atap rumah menunggu air surut.

Dalam menangani banjir, pemerintah kolonial Belanda jauh lebih baik dari kita sekarang ini. Para lurah yang ketika itu disebut wijkmeester atau bek menurut dialek Betawi ditugaskan agar betul-betul mengawasi kebersihan. Mereka yang kepergok membuang sampah di sungai akan langsung dihukum. Pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan perintah agar semua kali buatan dan kanal di dalam kota Batavia dibersihkan dari penduduk yang tinggal di bantarannya.

Beberapa waktu kemudian pembersihan kali dan penggalian kanal makin diperluas hingga ke luar kota (ke arah selatan). Kontrak pelaksanaan kerja pembersihan bantaran kali dan penggalian kanal-kanal biasanya dikaitkan dengan pembuangan sampah.

Orang Belanda sangat gemar menggali kanal-kanal. Selain untuk mengingatkan mereka ke negara asalnya, kali-kali buatan ini juga dibangun karena pertimbangan ekonomis-komersial. Kali-kali itu kemudian dijadikan sarana utama bagi angkutan dagangan untuk memasok barang ke Batavia dari arah selatan.

Seperti lalu lintas di daratan, sampan dan perahu yang melewatinya harus berhati-hati agar tidak menabrak orang-orang yang tengah mandi, mencuci, dan buang air besar. Waktu itu ada kali-kali buatan yang jadikan seperti jalan tol. Mereka yang melewati harus membayar ongkos.

Kalau Belanda bertindak tegas terhadap mereka yang tinggal di bantaran sungai, dan menghukum mereka yang membuang sampah di sungai, kenapa tindakan semacam ini tidak dilakukan. Kalau kita mau meredakan banjir, baik banjir kiriman maupun banjir setempat, upaya pemeliharaan sungai sangat diperlukan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement