Oleh Fitriyan Zamzami, wartawan Republika
REPUBLIKA.CO.ID -- Hidup Fahirin, menurut penuturannya, tak landai. Pria kelahiran 1966 tersebut nyaris paripurna menjalani jejak-langkah rerupa golongan dengan garis Islam yang tergolong keras di Indonesia sepanjang 1980-an hingga awal milenium.
Fahirin yang asli Jakarta itu mengklaim, sebelum remaja sudah hadir saat terjadi kericuhan antara pendukung Golkar dan PPP di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat menjelang Pemilu 1982. Begitu juga saat aksi unjuk rasa penolakan asas tunggal Pancasila berujung pembunuhan warga oleh ABRI di Tanjung Priok pada 1984.
Ia sempat bergabung dengan Pelajar Islam Indonesia (PII), juga ikut menghadiri Presidium Dewan Imamah, sebuah gerakan pada 1980-an yang menurutnya berupaya menggulingkan Soeharto dan menegakkan Islam. “Saya waktu itu masih kecil, ikut-ikutan saja,” kata Fahirin ketika saya hubungi, Senin (20/6).
Pada 1987, selesai SMA, Fahirin bertolak ke Malaysia untuk kemudian ke Afghanistan guna bergabung dengan para mujahidin melawan invasi Uni Soviet. Ia berangkat dengan bantuan seniornya di Gerakan Pemuda Islam (GPI).
Di Afghanistan, ia adalah kakak angkatan Umar Patek, terpidana kasus Bom Bali I. Ia juga kenal dengan Abu Thalut, terpidana kasus pelatihan militer di Aceh 2010. Pelatihan militer itu disebut kepolisian sempat diikuti salah satu pelaku penyerangan dan pengeboman di Sarinah, awal tahun ini. Sepulangnya ke Tanah Air, Farihin kemudian bergabung dengan Jemaah Islamiyah (JI).
Pada 1999, Fahirin berangkat ke Ambon, Maluku, sehubungan meletusnya konflik SARA di wilayah tersebut. Pada Oktober 2002, langkah Fahirin terhenti. Ia ditangkap di Palu, Sulawesi Tengah tengah membawa ribuan amunisi.
Setelah keluar dari penjara pada 2004, Fahirin gantung senjata. Ia menyatakan keluar dari gerakan yang menurutnya sudah melenceng dari ajaran Islam dengan aksi-aksi teror yang ikut menewaskan manusia tak bersalah.
Bagaimanapun, Fahirin tak lupa akarnya. Ia masih ingat jelas bagaimana pikirannya dibentuk untuk kemudian bersimpati terhadap perjuangan menegakkan Syariat Islam di Tanah Air.
Fahirin menuturkan, pada 1983, ia mengikuti pelatihan oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pesantren Kilat (LP3K). Dalam pelatihan tersebut, ia mendapatkan materi khusus tentang Sejarah Perjuangat Umat Islam (SPUI). “Kita dikenalkan soal Syarikat Islam hingga perjuangan kemerdekaan,” kata dia.
Yang tak luput dalam materi SPUI adalah soal Piagam Jakarta. Dalam pengajaran, kata Fahirin, yang ditekankan adalah bahwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta sangat merugikan Umat Islam. Bahwa pencantuman kembali “dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” adalah janji yang harus ditagih para pejuang-pejuang Islam Indonesia.
Kisah hidup Fahirin, dalam satu dan lain hal adalah juga kisah Indonesia, khusunya terkait hubungan antara negara dan sebagian umat Islam selepas penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Ia adalah hubungan yang tak jenak. Hubungan yang kerap disusupi paranoia pada kedua belah pihak.