REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa
Memasuki abad ke-20, umat Islam menghadapi tantangan besar dari kolonialisme yang penindasannya kian sistematis. Sejak 1870, di Indonesia pemerintah kolonial Belanda telah membuka akses yang luas bagi masuknya modal asing untuk mengeruk kekayaan Tanah Air.
Semua itu demi profit kapital. Memang, ada Politik Etis yang dibuka sejak 1900. Namun, kebijakan itu hanyalah topeng belaka di balik kata humanisme. Sebab, tujuan utamanya adalah berupaya mengekalkan praktik kapitalisme di negeri-negeri jajahan.
Bagaimana kalangan pesantren menangkal ekses negatif ini? Di bidang pendidikan Islam, pesantren memegang peranan penting sebagai benteng pertahanan untuk membendung pengaruh buruk pendidikan yang diselenggarakan Belanda. Ini dilakukan secara bahu-membahu dengan upaya pelbagai wujud dan aksi modernisme Islam yang dihadirkan melalui ormas-ormas besar saat itu, semisal Sarekat Islam.
Pada 1942, Belanda yang menjajah Indonesia ratusan tahun lamanya ternyata tidak siap dengan serbuan dari luar. Dari arah utara, tentara pendudukan Jepang datang merebut Indonesia.
Negeri Matahari Terbit tiba dengan kepentingan menjadikan Indonesia sebagai wilayah pemasok bahan baku dan bala bantuan pendukung. Tujuannya agar Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya yang sedang berkecamuk melawan Amerika Serikat (AS) dan sekutu.
Sebagai siasat awal, Jepang merangkul tokoh-tokoh dari kalangan umat Islam yang selama ini dipinggirkan pemerintah kolonial Belanda. Di antaranya adalah ulama yang memiliki basis massa pesantren.
Namun, baru berselang satu atau dua tahun sejak masuknya Jepang, umat Islam merasakan situasi yang sama sekali tertekan sebagaimana ketika masih di bawah pemerintah kolonial. Sejumlah pesantren menggelorakan perlawanan terhadap kekejaman Jepang.
Satu contoh perjuangan anti-Jepang itu terjadi di Pesantren Sukamanah. Lokasinya terletak di desa Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya.
Pemimpinnya merupakan kiai muda yang kharismatik, KH Zaenal Mustafa. Dia baru berusia 26 tahun saat mendirikan Pesantren Sukamanah pada 1927. Ketokohannya tidak sebatas pada pesantren tersebut. Dia sadar betul bahwa pelbagai strategi-strategi penjajah sedang melumpuhkan daya umat Islam.
Kesadaran itu menyebabkannya berkali-kali dipenjara. Kejadian berikut ini terjadi sebelum Jepang menduduki Indonesia. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini terlibat aktif dalam polemik tahun 1937. Saat itu, pemerintah kolonial Belanda hendak mengesahkan rancangan undang-undang tentang perkawinan. NU dan Muhammadiyah menolak keras pemberlakuan beleid itu.