REPUBLIKA.CO.ID, Tepat 91 tahun lalu, pada 28 Oktober, para pemuda dari berbagai daerah berkumpul bersama untuk menyelenggarakan kongres. Dari Kongres Pemuda itulah, lahir keputusan yang kita kenal dengan Sumpah Pemuda. Satu hal yang menyatukan para pemuda yang berbeda suku dan latar belakang, yaitu keinginan untuk merdeka dari penjajahan.
Di atas segala perbedaan, para pemuda pun menyatu demi mencapai kemerdekaan bangsa. Kini setelah 91 tahun berselang, apa kabar dengan persatuan pemuda?
Anggota Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya Sarana, optimistis dengan keadaan pemuda dan pemudi di Indonesia. Ia merasa pemuda-pemudi Indonesia saat ini lebih aktif di dalam politik.
Mereka mulai sadar politik memiliki makna yang penting dalam kehidupan. Misalnya, kata William, untuk pertama kalinya anak-anak SMK berdemo. Memang ada dimensi negatifnya di mereka.
"Positifnya mereka ada kemauan untuk mengetahui kebijakan politik walaupun itu tidak murni. Saya cukup apresiasi itu, maksudnya mereka ada niat berpartisipasi dalam kebijakan," ujar William.
Pria kelahiran Jakarta, 2 Mei 1996 ini kemudian mengungkapkan partisipasi pemuda dalam politik sangat penting dalam situasi negara yang stagnan seperti ini. Anak muda saat ini masih memiliki idealisme tinggi dan tidak memiliki beban di masa lalu.
Pemuda-pemudi Indonesia juga memiliki tantangan yang banyak sekali. Salah satunya keterbatasan lapangan kerja.
"Kita akan menghadapi bonus demografi yang berarti jumlah usia produktif lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk nonproduktif. Namun, ditakutkan ketika mencapai bonus demografi, pemuda menjadi pengangguran. Ini karena infrastruktur ekonomi kita tidak siap menampung energi mereka," katanya.
Kemudian, tingkat literasi yang masih rendah. Dua hal tersebut harus segera diatasi. Sebab, agar tindakan perjuangan efektif dan berada di jalur yang benar, pemuda harus rajin membaca dan memperkaya ilmu.
Rendahnya tingkat literasi, menurut William, bisa dicari solusinya, yaitu dengan membuat waktu khusus atau tugas khusus membaca buku oleh sekolah-sekolah. Jika hal tersebut, misalnya, menjadi bagian dari kurikulum, akan membangun kebiasaan untuk membaca sejak dini.
"Sekolah berfungsi menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik di otak mereka. Ketika sudah besar, kebiasaan baik itu menjadi modal mereka untuk bermasyarakat," ujarnya.
Pria yang pernah menjabat sebagai ketua mahkamah mahasiswa Universitas Indonesia periode 2017-2018 ini berbicara tentang karakter pemuda dan pemudi Indonesia. Menurutnya, karakter mereka tidak bisa digeneralisasi.
William sendiri menjadi bagian dari generasi Z , yakni orang-orang yang lahir dalam rentang tahun kelahiran 1995 sampai 2010. Ia pernah membaca studi bahwa generasi Z memiliki sifat-sifat yang baik, contohnya ingin menjadi pengusaha.
William melihat riset bahwa ada juga yang mengatakan generasi Z tidak terlalu suka kehidupan malam. "Ada sifat- sifat konservatif yang baik di diri generasi Z, begitu katanya. Tapi, tantangan dari pemuda ini, banyak juga yang lebih mementingkan investasi dari hal-hal yang tidak bisa dilihat. Misalnya, mereka lebih baik menghabiskan keuangannya untuk liburan, banyak untuk nongkrong," ucap dia.
Sisi lain, lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengungkapkan, nilai-nilai yang harus diterapkan untuk pemuda dan pemudi Indonesia. Pertama pemuda-pemudi Indonesia harus memiliki kemampuan literasi finansial.
Karena, ada kebiasaan-kebiasaan buruk dari pemuda dalam menginvestasikan uang untuk sesuatu yang tidak berjangka panjang. Kedua, pemuda-pemudi Indonesia harus memiliki budaya membaca agar memiliki visi saat bertindak. Ketiga, memiliki kemauan belajar berpolitik.
"Karena, menurut saya, politik tidak bisa diapatiskan karena hak mereka semuanya, kehidupan pribadi mereka secara tidak langsung dipengaruhi oleh politik," ujarnya.
William berpesan, sebagai generasi muda, tentunya harus mengetahui peran mereka dalam bangsa ini. "Banyak hal yang harus diperbaiki di negara ini. Karena itulah, pemuda-pemudi diharapkan menjadi agen perubahan."