Kamis 06 Jun 2024 15:00 WIB

Pengamat Nilai Program Tapera tak Adil dan tak Masuk Akal 

Kebutuhan akan rumah tidak bisa disamakan dengan kebutuhan akan kesehatan.

Rep:  Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Bayangan buruh membentangkan spanduk saat melaksanakan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (6/6/2024). Aksi yang diikuti oleh berbagai kelompok elemen buruh tersebut untuk mendesak pemerintah agar segera mencabut program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dinilai tidak sesuai dengan upah buruh yyang tidak mengalami kenaikan signifikan setiap tahunnya.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Bayangan buruh membentangkan spanduk saat melaksanakan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (6/6/2024). Aksi yang diikuti oleh berbagai kelompok elemen buruh tersebut untuk mendesak pemerintah agar segera mencabut program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dinilai tidak sesuai dengan upah buruh yyang tidak mengalami kenaikan signifikan setiap tahunnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Properti Anton Sitorus mempertanyakan mengenai kewajiban bagi karyawan swasta dan pekerja mandiri atau freelance untuk menjadi peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera). Pemerintah mestinya tidak menyertakan kalangan tersebut untuk diharuskan berpartisipasi dalam program yang berpolemik tersebut.

“Pekerja swasta sama pekerja mandiri nggak boleh diwajibkan. Kalau pegawai negeri, TNI, Polri, BUMN, BUMD terserahlah karena yang memberi pekerjaan kepada mereka kan negara, kalau negara bikin aturan ya silahkan saja. Tapi kalau pekerja swasta dan pekerja mandiri kan yang menggaji bukan negara, jadi logikanya dimana mereka harus diwajibkan,” kata Anton saat dihubungi Republika, Kamis (6/6/2024).

Baca Juga

Anton menuturkan, jika program tersebut hanya diberlakukan untuk para ASN, TNI/ Polri, polemiknya tidak akan semeluas saat ini. Sebab ada tanggungan yang mestinya bukan menjadi kewajiban bagi pekerja swasta dan mandiri. Dia berharap masyarakat meninjau kembali tentang aturan tersebut.

“Saya memang nggak tahu persis seperti apa aturannya dibikin atau dibahas karena kita bukan pihak yang membuat aturan, kita hanya bisa menduga-duga, kita hanya bisa berkomentar, itu nggak adil,” tuturnya.

Lebih lanjut, Anton mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyamakan program Tapera mirip dengan program BPJS Kesehatan. Menurutnya itu juga tidak masuk akal. “Kalau menurut saya salah. Karena BPJS itu menyangkut hal prinsipil dalam kehidupan manusia yaitu masalah kesehatan. Kalau rumah ini kebutuhan yang kesekian,” ujar Anton.

Menurut Anton, tidak semua masyarakat menginginkan untuk memiliki rumah. Ada yang memilih untuk tinggal dengan cara sewa atau ngontrak, ada juga yang memilih tinggal bersama orang tua, dan sebagainya. Sehingga kebutuhan akan rumah tidak bisa disamakan dengan kebutuhan akan kesehatan sebagaimana diterapkan di BPJS.

“Nggak bisa disamakan dengan kesehatan, kalau kesehatan orang sakit mau orang kaya maupun orang miskin ya emang butuh disembuhkan dan butuh biaya buat berobat,” tuturnya.

“Begitu juga dengan BPJS Ketenagakerjaan, orang kerja sewaktu-waktu kan berhenti, sewaktu-waktu pensiun, sewaktu-waktu bisa kena PHK, mereka butuh yang namanya jaminan untuk hidup. Kalau rumah kan bukan kebutuhan seperti itu, jadi enggak bisa disamain,” lanjutnya.

Anton menambahkan, tidak ada alasan yang jelas mengenai kenapa pekerja swasta dan pekerja mandiri diwajibkan. Hal itu mengingat sebelumnya pada Bapertarum-PNS ataupun FLPP hanya mewajibkan PNS, Polri, dan TNI. Tidak melibatkan karyawan dan perusahaan swasta serta pekerja mandiri. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement