REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Ir Johan Lodewijk Grhijsels (berdiri) didampingi istrinya dan kedua anaknya tengah berfoto di kediamannya di daerah elite Weltevreden, Batavia, pada 1910-an. Salah satu putrinya yang masih bayi tengah duduk di kereta dorong khusus untuk bayi terbuat dari rotan.
Kursi dan meja yang terletak di pekarangan depan kediamannya juga terbuat dari rotan. Kursi dan meja semacam ini sudah hampir tidak terdapat lagi. Padahal, sampai 1950-an masih banyak menghiasi kediaman-kediaman di Jakarta.
Ir FJL Ghijsels adalah seorang Indo Belanda kelahiran Tulung Agung, Jawa Timur, pada 8 September 1882 dan meninggal dunia di Belanda pada 1942. Indo Belanda tinggi besar dengan kumis tebal itu menempuh pendidikan arsitektur di Politeknik Delf, Belanda. Selama 19 tahun (1910-1929) putra Tulung Agung ini telah membangun banyak gedung di berbagai tempat di Nusantara yang sekarang ini dilestarikan sebagai cagar budaya.
Beberapa tahun lalu seorang cucunya datang dari Belanda untuk melihat gedung-gedung yang didesain dan dibangun kakeknya. Saya turut mengikutinya bersama sejumlah rekan pers. Dia ikut bersedih ketika Hotel des Indes di Jalan Hayam Wuruk—yang direhab kembali oleh kakeknya—kini telah dibongkar dan menjadi mal Carrefour. Di Kalibesar Barat dan Kalibesar Timur masih didapati gedung tua karya Ghijsels seperti gedung Geo Wehry yang dulu merupakan salah satu perusahaan Belanda terkemuka. Stasiun Kereta Api Jakarta Kota (BEOS), juga hasil monumental Ghijsels.
Stasiun BEOS dibangun pada 1928 dan diresmikan 8 Oktober 1929. Sebagai kebiasaan kala itu, saat pencangkulan pertama di tanam empat kepala kerbau di empat sudut stasiun tersebut. Ghijsels juga membangun kantor KPM di Koningsplein Oost (kini Medan Merdeka Timur) dan menjadi Kantor Ditjen Perhubungan Laut. Gedung ini didesain 1916 dan pembangunannya 1917-1918. Sebelumnya pernah dijadikan sebagai kantor PT PELNI. Dia jugalah yang membangun rumah sakit Pelni di Jatipetamburan dan di Koja Tanjung Priok. Beberapa perwakilan KPM juga dibangun di Semarang, Surabaya, Padang, dan Makassar.
Ghijsels juga membangun Gedung Bappenas yang ketika itu dinamakan ‘Loji Freemansons’ yang juga disebut ‘rumah setan’ tempat ibadah kaum Yahudi. Dia juga ikut berpartisipasi dalam pembangunan Bali Hotel di Denpasar, yang merupakan hotel terkemuka kala itu di Pulau Dewata. Di Bandung salah satu bangunan antik yang monumental hasil karyanya adalah Vila Siola yang hingga kini masih dikagumi. Dia juga berpartisipasi dalam pembangunan rumah sakit Hasan Sadikin di Bandung dan Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta yang diresmikan 1929.
Dia juga pendiri dari perusahaan pembangunan dan kontraktor Algemeen Ingenieurs en Architectenbureau (AIA), yang pada masa kemerdekaan diubah menjadi ‘Adhi Karya’. Di antara puluhan gedung yang didesain dan ditangani Ghijsels, karena usianya sudah mendekati satu abad, yang masih tersisa telah dilestarikan sebagai cagar budaya.