Kamis 13 Jun 2024 16:05 WIB

Ini Alasan Bank Muamalat Masih Belum Dapat Lampu Hijau Melantai di Bursa

Ada sekitar 300 ribu pemegang saham yang memiliki bukti kepemilikan berupa warkat.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Nasabah PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mengakses fitur Penerimaan Negara di aplikasi mobile banking Muamalat DIN di Jakarta, Kamis (21/3/2024). Bank Muamalat terus menambah fitur baru di aplikasi Muamalat DIN untuk memenuhi kebutuhan dan preferensi nasabah. Di antaranya adalah fitur Penerimaan Negara yang dapat digunakan oleh nasabah untuk melakukan pembayaran paspor. Kemudahan ini menjadikan nasabah Bank Muamalat yang antara lain ingin melaksanakan ibadah haji dan umrah ke Tanah Suci cukup membayar biaya pembuatan paspor via Muamalat DIN.
Foto: Dok Republika
Nasabah PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mengakses fitur Penerimaan Negara di aplikasi mobile banking Muamalat DIN di Jakarta, Kamis (21/3/2024). Bank Muamalat terus menambah fitur baru di aplikasi Muamalat DIN untuk memenuhi kebutuhan dan preferensi nasabah. Di antaranya adalah fitur Penerimaan Negara yang dapat digunakan oleh nasabah untuk melakukan pembayaran paspor. Kemudahan ini menjadikan nasabah Bank Muamalat yang antara lain ingin melaksanakan ibadah haji dan umrah ke Tanah Suci cukup membayar biaya pembuatan paspor via Muamalat DIN.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mencatatkan sahamnya atau listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) masih belum mendapatkan lampu hijau hingga pertengahan tahun ini. Padahal, rencana tersebut seharusnya terlaksana pada Desember 2023 lalu.

Secretary Bank Muamalat Hayunaji mengatakan, hingga saat ini permohonan pencatatan saham (listing) Bank Muamalat belum disetujui oleh BEI. Menurutnya, bursa belum memberikan izin disebabkan karena Bank Muamalat belum memenuhi sejumlah keperluan.

Baca Juga

"Hal ini disebabkan oleh belum terpenuhinya beberapa hal yang diperlukan dari Bank Muamalat di antaranya data pemegang saham jemaah haji tahun 1992 - 1994 yang tidak dapat diidentifikasi," ujar Hayunaji kepada Republika dikutip Kamis (13/6/2024).

Hal tersebut diamini Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna. Ia mengatakan, meskipun sudah mendengar informasi terkait pencatatan saham Bank Muamalat, namun perusahaan tersebut belum masuk ke dalam pipeline BEI.

"Kami belum menerima kembali dokumen terkait," ujarnya. 

Diketahui, ada sekitar 300 ribu pemegang saham Muamalat yang memiliki bukti kepemilikan berupa warkat. Itu karena inisiasi dari pemerintah usai pembentukan Bank Muamalat pada tahun 1991, yakni agar jamaah haji tahun 1992 hingga 1994 untuk membeli saham bank.

Sebelumnya, Direktur Utama Bank Muamalat Indra Falatehan mengatakan,  pihaknya sudah tiga kali menyampaikan lewat media kepada para pemegang saham untuk mendaftarkan sahamnya agar bisa diperdagangkan di BEI. "Karena memang tahun 1992-1994 masih belum ada alamat yang jelas. Kita juga berupaya untuk surati (mereka) itu yang masih jadi PR sekarang," kata Indra.

Tak hanya proses listing yang belum mendapat titik cerah, rencana akuisisi Muamalat oleh BTN pun masih belum terlaksana hingga saat ini. Padahal, BTN menargetkan due dilligence atau uji tuntas aksi korporasi tersebut rampung pada April 2024. Dikonfirmasi perihal hal tersebut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, hingga kini pihaknya belum mendapatkan permohonan tertulis terkait rencana aksi korporasi yang dimaksud. 

"Sampai dengan saat ini belum terdapat permohonan tertulis yang disampaikan kepada OJK terkait rencana aksi korporasi dimaksud, sedangkan diskusi terkait hal tersebut terus berlangsung antar bank maupun antar bank dengan OJK," ujar Dian kepada Republika, Rabu (12/6/2024).

Dian menjelaskan, pada dasarnya pengajuan permohonan merger merupakan kewenangan manajemen bank. Selama ini, OJK sudah berupaya mewujudkan Roadmap Penguatan dan Pengembangan Perbankan Syariah 2023-2027 yang antara lain melalui konsolidasi perbankan syariah yang menjadi tanggung jawab bersama.

Dian juga menegaskan untuk aksi korporasi harus disiapkan secara matang dengan tetap memperhatikan kesiapan masing-masing bank, dan perkembangan dinamika pasar global maupun domestik. Sehingga, konsolidasi yang akan dilakukan dapat melahirkan perbankan syariah yang lebih sehat, efisien, dan lebih berdaya saing serta berkontribusi terhadap perekonomian nasional.

"Sampai dengan saat ini OJK belum merasa perlu untuk menggunakan kewenangan dari UU P2SK terkait dgn kewenangan OJK melakukan forced consolidation," kata Dian.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement