Jumat 21 Jun 2024 00:06 WIB

Dokter Sebut Kebiasaan Masyarakat Jadi Salah Satu Faktor Penyebaran DB

Masyarakat sering menampung air dan kurang menerapkan kebersihan.

Petugas melakukan pengasapan (fogging) pada kawasan pemukiman padat penduduk untuk mencegah penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Tanah Abang, Jakarta, Kamis (18/4/2024). Pengasapan tersebut dilakukan setelah ada laporan dua warga di lingkungan tersebut terkena penyakit DBD yang disebabkan gigitan dari nyamuk Aedes Aegypti. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta terdapat 3.875 kasus DBD di Jakarta sejak awal Januari 2024 yang mengakibatkan enam orang meninggal dunia.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas melakukan pengasapan (fogging) pada kawasan pemukiman padat penduduk untuk mencegah penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Tanah Abang, Jakarta, Kamis (18/4/2024). Pengasapan tersebut dilakukan setelah ada laporan dua warga di lingkungan tersebut terkena penyakit DBD yang disebabkan gigitan dari nyamuk Aedes Aegypti. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta terdapat 3.875 kasus DBD di Jakarta sejak awal Januari 2024 yang mengakibatkan enam orang meninggal dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tim Kerja Arbovirosis Kementerian Kesehatan dr Asik Surya menuturkan kebiasaan masyarakat yang sering menampung air dan kurang menerapkan kebersihan menjadi salah satu faktor risiko penyebaran demam berdarah.

Dalam 'Tanda Bahaya DBD. Kenali Sebelum Terlambat!' yang disiarkan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Kamis (20/6/2024), Asik menjelaskan bahwa ada masyarakat yang tidak menguras kontainer atau dispensernya, sehingga menjadi tempat berkembang biak nyamuk.

Baca Juga

"Di hotel pun kan kadang-kadang juga ada yang mereka menggunakan vas bunga. Nah, coba dilihatin. Kadang-kadang saya pernah menemui, saya tidak perlu menyebutkan hotelnya, tetapi itu hotel bintang 4. Ada jentik-jentiknya di situ. Nah, itu kan juga bahaya di situ," ujarnya.

Ditambah dengan adanya musim hujan, ujarnya, maka tempat untuk nyamuk bertelur menjadi semakin banyak, sehingga kasus DB pun naik.

Asik juga menyebutkan sejumlah faktor risiko lain, seperti posisi Indonesia sebagai negara tropis, yang menyebabkan DB menjadi penyakit endemik di hampir seluruh wilayah, terutama di wilayah-wilayah perkotaan.

"Kemudian yang kedua tentu kepadatan penduduk. Di daerah-daerah perkotaan begitu padat dan juga banyak penampungan-penampungan air. Itu juga akan menjadi persoalan ketika drainase jelek dan sebagainya," katanya.

Dia mengatakan bahwa karena pemanasan global, penyakit itu pun mulai muncul di daerah dataran tinggi, contohnya Papua Pegunungan.

Menurutnya, apabila sudah mengetahui faktor-faktor risiko tersebut, maka masyarakat harus mengambil tindakan guna mengendalikannya. Dia menilai bahwa upaya pengendalian bukan oleh pemerintah saja, namun juga semua orang.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Staf Medik Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM dr Mulya Rahma Karyanti mengatakan bahwa meski penyakit tersebut banyak menyerang anak-anak berusia 5-15 tahun, namun semua orang berisiko terkena juga.

Karyanti menyebutkan bahwa apabila tidak ditangani, maka DB dapat mengakibatkan kematian. Dia menjelaskan, pada fase kritis, terjadi kebocoran pembuluh darah hingga pembuluh darahnya kolaps, sehingga aliran darah terganggu.

"Yang bahaya adalah kalau misalnya sampai kolapsnya berat, sampai aliran darah ke otak berkurang, ke jantung, nah itu bisa menyebabkan perdarahan dan bisa menyebabkan kematian," katanya.

Oleh karena itu, ujarnya, penting untuk waspada atas sejumlah gejala demam berdarah, seperti nyeri perut apabila hari ketiga demam kondisinya tidak kunjung membaik, muntah-muntah terus, atau pendarahan spontan.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement