REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoriyas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi mengatakan, keuangan syariah pada beberapa tahun terakhir ini berhasil mencetak kinerja yang baik. Berdasarkan data dari Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS ) kontribusi usaha syariah dan pembiayaan syariah mencapai 46 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
OJK mencatat total aset keuangan syariah mencapai Rp 2.500 triliun pada 2023. Potensi pengembangan keuangan dan ekonomi syariah masih terbuka luas dan tentunya juga terdapat sejumlah tantangan yang akan dihadapi.
"Keuangan syariah sudah menjadi salah satu penopang perekonomian Indonesia. Dapat kami sampaikan bahwa per Desember tahun lalu total aset industri keuangan syariah telah mencapai Rp 2.500 triliun yang terdiri dari sektor perbankan syariah sebesar Rp 892 triliun, kemudian dari IKNB syariah sebesar Rp 156 triliun, dan dari sektor pasar modal syariah sebesar Rp 1.500 triliun," rinci Friderica dalam Kick Off Indonesia Sharia Financial Olympiad (ISFO) 2024 OJK yang diikuti secara daring, Senin (24/6/2024).
Kiki sapaan akrabnya mengatakan, eksistensi keuangan syariah Indonesia di kancah global juga terus diakui, hal ini tercermin dari beberapa peningkatan indeks global, antara lain keuangan syariah Indonesia menempati posisi ketiga berdasarkan Islamic Finance Development Indicator (IFDI) dan Cambridge Global Islamic Finance Report (Cambridge GIFR)
"Indonesia juga menempati posisi ketujuh untuk aspek Islamic Finance pada Global Islamic Economic Indicator, kompetitif dengan negara lain seperti Malaysia, kemudian Saudi Arabia. Tentu saja capaian ini merupakan hasil kerja kita semua, baik itu dari pemerintah, kementerian lembaga, OJK, Bank Indonesia, tentu saja KNG-EKS, kemudian Majelis Ulama Indonesia, asosiasi, dan seluruh stakeholder lainnya, Bursa Effect Indonesia, dan tentu saja seluruh pelaku usaha jasa keuangan syariah," tuturnya.
Sebelumnya, Kiki pernah menyampaikan tantangan yang mengintai industri keuangan syariah antara lain, terbatasnya kapasitas sumber daya manusia (SDM), infrastruktur seperti teknologi, dan ketatnya persaingan antara syariah dengan konvensional perihal pelayanan dan produk. Selain itu, tantangan dari sisi tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah yang juga belum optimal, padahal Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar.
Berdasarkan survei literasi dan inklusi keuangan OJK pada 2022 telah terjadi peningkatan indeks literasi yang masih terbatas menjadi 9,14 persen posisi 2019 sebesar 8,93 persen. Namun, anvka ini masih jauh dari rata-rata konvensional yang sebesar 47 persen dengan gap senilai 38 persen.
Namun, pada survei terakhir, OJK menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penyelenggaraan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) dan menunjukkan hal yang menggembirakan, di mana indeks literasi meningkat jadi 39 persen pada 2023. Namun, tingkat inklusi masih berada di level 12 persen atau tidak mengalami peningkatan yang signifikan dari survei tahun-tahun sebelumnya.
Upaya peningkatan keuangan syariah dilakukan dari sisi regulasi, utamanya telah diterbitkannya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), dari regulasi tersebut, terdapat sejumlah ketentuan syariah yang dikeluarkan OJK. Di sektor perbankan, telah dirilis Peraturan OJK (POJK) tentang Unit Usaha Syariah (UUS) yang juga merupakan salah satu amanat dari UU P2SK, kemudian, POJK 2/2024 tentang Tata Kelola Bank Umum Syariah dan UUS.
Di sektor industri keuangan nonbank (IKNB), telah diterbitkan POJK 10/2023 dan POJK 11/2023 tentang Pemisahan UUS Asuransi, Reasuransi, dan Perusahaan Penjaminan. Pada sektor pasar modal syariah, ada ketentuan POJK 18/2023 yang memuat tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang dan Sukuk Berlandaskan Keberlanjutan.
Dian Fath Risalah