Kamis 27 Jun 2024 07:30 WIB

Rupiah Mengubah Wajah Dunia

Dunia tidak mengenal kata taat dan khianat.

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Partner
.

Ilustrasi dunia. (Foto: Dok. Republika.id)
Ilustrasi dunia. (Foto: Dok. Republika.id)

SumatraLink.id -- Oleh Mursalin Yasland (Jurnalis)

Masih membekas dalam ingatan di negeri ini harga telur ayam melonjak sampai Rp 30.000 lebih per kg, minyak goreng kemasan sempat hilang di pasaran, terigu langka, dan harga beras mahal dan raib di swalayan. Mulut petinggi hanya bilang karena ini dan itu tanpa dosa, belakangan ada menteri menyebut penyesuaian harga bukan naik.

Komoditas pangan selalu menjadi permainan bisnis para spekulan yang sangat menggetarkan jiwa bangsa. Setelah tinggi harga kebutuhan dasar rumah tangga seperti beras, bawang, cabai, kedelai, dan telur ayam, lagi-lagi kebijakan impor menjadi solusi pamungkas dengan dalih meredam kegaduhan harga komoditas rakyat. Bukankah isi perut bumi nusantara ini amanah konstitusi dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat?

Dunia segalanya, uang bisa mengubah dunia menjadi terbalik. Bahkan, untuk menjadi punggawa dunia, kaum “beruang” menjadi bantal sandaran empuk. Para penghamba rupiah pun rela menjulurkan congornya melantai demi harga (diri) dunia. Sehingga, tak jelas lagi siapa kawan dan siapa lawan, siapa benar siapa salah, dan siapa jujur siapa bohong.

Pascapemilu dan pilpres dan pilkada serentak biasanya dunia semakin terbalik dan jungkirbalik. Jagat negeri dikejutkan dengan petinggi (pejuang) negeri yang bak kilat berubah kiblat. Dengan nalar dunia, secepat petir menyambar segelintir orang (notabene) panutan umat mengubah haluan kapal. Mereka tidak taat lagi, khianat menjadi taruhan. Kepuasan lahir dan batin mereka sempat menggoncangkan nurani akal sehatnya selama ini.

Semua karena dunia yang menipu dan ajang permainan. Dunia tidak mengenal kata taat dan khianat. Jarum kompas pun dipaksa putar dari utara ke selatan apalagi jarum jam. Yang ada hanya kepentingan: ya kepentingan perut. Perut mereka bukan lagi keroncongan, tapi sudah lapar akut. Badut-badut ekonomi dan politik “terbaik” negeri mulai tampil memainkan sekuel dramanya. Parah dan memalukan!!!

Pada pemilu dan pilpres lalu, beragam diskursus soal nasib negeri ini ke depan sudah ditampakkan dalam beragam diskusi di tv, radio, koran, termasuk di berbagai platform media sosial. Terkuak panutan umat yang selama ini jadi bumper sudah melenceng dari shaf terdepan. Semudah itu mereka balik badan demi “sesuatu” yang menggiurkan kehidupan.

Mereka dengan vulgar menyuarakan hal negeri dengan sujud mengeluarkan lidahnya di sajadah terbalik. Umat semakin tahu, mana yang sehat dan mana yang tidak. Tapi, mereka berdalih: Ini ijtihad setelah pemilu, pilkada atau pilpres? Fitnah syubhat pun bergentanyangan di dunia maya tanpa sensor.

Uang menjadi sumber solusi kebahagiaan. Dengan uang seakan orang hidup menjadi tenang dan bahagia. Transaksi pasar telah bergeser, uang merambah di podium dan panggung politik dalam merebut kekuasaan. Kesan ada uang urusan selesai, tidak ada uang habis perkara. Harga dunia selalu dinilai dengan rupiah. “Bil fuluus likulli syai’in mulus, maa fii fuluus laisa tembus.”


Harga dunia memang menyesatkan sekaligus menyengsarakan. Rasa malu, harga diri, kehormatan keluarga dan institusi termasuk agama menjadi barang kuno dan langka pada era multidimensi ini. Gengsi kemanusiaan buta menjadi incaran. Kejujuran dan kemuliaan tidak lagi laku di pasaran. Moral atau adab dan spiritualitas sudah menguap dan kabur ditelan zaman. Yang ada gengsi dunia: harta dan tahta, serta wanita.

Negeri pertiwi sudah diujung tanduk. Segala teori ekonomi dan politik belahan dunia yang tersohor, bila diterapkan di Indonesia menjadi amburadul bahkan pontang panting tak terperi. Sikap mental dan perilaku masyarakat sudah berada di bawah tataran norma. Uang menjadi kiblat. Harga dunia tak lagi berbanding lurus dengan harga akhirat.

Menjadi pejabat negara tak lagi mengukurnya dengan nilai kemanusiaan dan kompetensi. Semua bergantung fulus. Ajang pilpres dan pilkada langsung dan serentak teori atau formulanya sudah mahfum bagi politisi dan kaum birokrat. Gerbong kandidat yang masih bernalar akal sehat akan tertinggal atau ditinggalkan jauh.

Semua diukur dan dinilai dengan dunia: berapa bagian saya atau saya dapat apa? Negosiasi di bawah meja dan meja makan masih berlaku: tidak ada makan siang gratis. Meskipun ada yang mengibarkan jargon makan siang gratis untuk merekrut suara kaum fakir miskin tapi tetaplah tidak segampang itu realitasnya apalagi harus nol rupiah.

Allah Subhanahuwata’ala (SWT) berfirman: “Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui,” (QS. Al-Ankabut: 64).

Kehidupan akhirat kekal dan hakiki. Sedangkan kehidupan dunia absurd dan sementara. Dunia artinya paling rendah dan hina penuh fitnah. Dunia berakhir dengan kemusnahan, karena dunia tidak senilai dengan sebelah sayap nyamuk.

“Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit,” (QS. At-Taubah: 38).

Nabi Muhammad Sholallahu’alaihi wassalam (SAW) sudah mengabarkannya bahwa dunia lebih jelek daripada bangkai. “Demi Allah, sungguh, dunia itu lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian,” (HR. Muslim no. 2957).

Nabi SAW juga mengumpamakan bahwa dunia seperti setetes air yang melekat di jari, sedangkan akhirat samudra yang luas. (Lihat HR. Muslim, no. 2858 dan Ibnu Hibban, no. 4315). Nabi SAW menambahkan, dunia tidak berharga meskipun hanya seberat sayap nyamuk. (Lihat HR. At-Tirmidzi, no. 2320 dan Ibnu Majah, no. 4110).

Pantaslah, tanda-tanda akhir zaman telah nampak: kalau harga dunia sudah tak sebanding dengan harga akhirat. Prasangka keliru, yang menyebutkan dunia adalah segalanya. Jangan tertipu dengan kegelimangan dunia. Dunia boleh dicari, tapi akhirat jangan dilupakan. Saat hidup, dunia adanya nyata akhirat cerita, ketika mati akhirat nyata dunia tinggal cerita. Allahu’alam bishawab.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

  • Sangat tertarik
  • Cukup tertarik
  • Kurang tertarik
  • Tidak tertarik
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement