Rabu 03 Jul 2024 07:22 WIB

Pemerintah Tahan Harga BBM Nonsubsidi, Bakal Tekan APBN?

Fahmy mengingatkan hal ini akan semakin memberatkan APBN.

Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) kendaraan di SPBU Pertamina Riau, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/6/2023).
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) kendaraan di SPBU Pertamina Riau, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/6/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyoroti keputusan pemerintah yang tidak menaikkan tarif listrik dan harga BBM pada awal Juli 2024. Tidak hanya tarif listrik dan BBM subsidi, Fahmy menyebut pemerintah juga menahan kenaikan tarif listrik dan harga BBM nonsubsidi.

"Keputusan pemerintah itu cukup tepat, tetapi kurang bijak," ujar Fahmy dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (2/7/2024).

Baca Juga

Fahmy menjelaskan, keputusan tidak menaikkan tarif listrik dan harga BBM memang dapat mengendalikan inflasi dan mencegah penurunan daya beli masyarakat. Namun, Fahmy mengingatkan hal ini akan semakin memberatkan beban APBN untuk pengeluaran kompensasi dan subsidi.

Menurut Fahmy, pemerintah seharusnya tidak perlu menahan lebih lama lagi tarif listrik dan harga BBM nonsubsidi. Fahmy mendorong pemerintah menyerahkan kepada PLN dan Pertamina untuk menetapkan tarif listrik dan harga BBM nonsubsidi sesuai dengan harga keekonomian.

"Dengan demikian, pemerintah tidak perlu membayar kompensasi kepada PLN dan Pertamina pada saat harga tarif listrik dan harga BBM nonsubsidi ditetapkan di bawah harga keekonomian," ucap Fahmy.

Fahmy mengatakan kenaikan tarif listrik dan harga BBM nonsubsidi secara empiris tidak berpengaruh signifikan terhadap kenaikan inflasi dan penurunan daya beli masyarakat. Pasalnya, jumlah konsumennya relatif tidak besar dan sebagian besar golongan masyarakat menengah ke atas.

Hal ini berbeda dengan kenaikan tarif listrik dan harga BBM subsidi yang berpengaruh besar terhadap kenaikan inflasi dan penurunan daya beli masyarakat. Fahmy menilai hal ini lantaran jumlah konsumennya relatif besar dan kebanyakan golongan masyarakat bawah.

Di tengah pelemahan rupiah yang belanjut, ucap dia, melambungnya inflasi akan memperburuk perekonomian Indonesia. Bahkan berpotensi menyulut krisis ekonomi lantaran terjadinya pelemahan rupiah terhadap dolar AS dibarengi inflasi yang meroket.

"Agar inflasi tidak meroket, pemerintah tidak perlu menaikan tarif listrik dan harga BBM subsidi hingga akhir 2024," kata Fahmy.

Namun, Fahmy menyarankan pemerintah sebaiknya menaikan tarif listrik dan harga BBM nonsubsidi paling lambat awal Agustus 2024. Fahmy menilai kenaikan tarif listrik dan harga BBM nonsubsidi dapat mengurangi beban pengeluaran kompensasi yang membebani APBN.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement