REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penasihat Senior Pendanaan Iklim Bank Investasi Infrastruktur Hijau Afrika (AfGIIB) Rwanda Hubert Ruzibiza mengatakan, Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) di Baku bulan November mendatang memberikan kesempatan penting bagi Afrika. Ia mengatakan, kontribusi Afrika pada emisi yang mengakibatkan perubahan iklim kecil, tapi dampak pemanasan global pada benua itu sangat signifikan.
"Kenyataan ini menggarisbawahi ketidakadilan yang mencolok yang harus ditangani dengan sangat serius di COP29," kata Ruzibiza dalam artikelnya di New Times, Selasa (23/7/2024).
Dalam artikel itu, Ruzibiza mendesak negara-negara maju untuk tidak hanya memenuhi, tetapi juga secara signifikan meningkatkan komitmen mereka untuk menyediakan pendanaan iklim bagi negara-negara berkembang.
Janji pendanaan sebesar 100 miliar dolar AS per tahun sebagian besar masih belum terpenuhi. Sementara, aliran dana perubahan iklim yang ada saat ini masih jauh dari apa yang dibutuhkan untuk mendukung rencana aksi iklim Afrika yang ambisius.
Ia mengatakan, pendanaan sangat penting untuk berbagai inisiatif, mulai dari energi terbarukan dan proyek-proyek efisiensi energi untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan menjaga ekosistem seperti hutan.
Selain itu, tambahnya, sangat penting pendanaan iklim tidak hanya ditingkatkan secara kuantitatif tetapi juga digunakan secara kualitatif. "Untuk memastikan pendanaan tersebut mendukung pertumbuhan ekonomi hijau yang berkelanjutan di seluruh benua," tulisnya.
Ia mengatakan, dalam konteks ini pendanaan campuran menjadi penting. Model pembiayaan campuran yang mengintegrasikan sumber daya sektor publik dan swasta, dapat memobilisasi modal dalam jumlah besar dalam skala besar.
Ruzibiza mengatakan, Kemitraan Investor-Publik Institusional (Institutional Investor-Public Partnerships/IIPP), yang dipimpin bersama oleh pemilik aset domestik dan global, sangat penting. Menurutnya, kemitraan ini dapat memobilisasi modal swasta dalam skala besar dan kecepatan tinggi yang diperjuangkan para pemimpin Afrika sendiri. Hal ini memastikan investasi didorong dampak perubahan iklim, bukan metrik tradisional seperti PDB.
Model ini sangat penting karena dapat mengurangi risiko investor swasta dan memberikan insentif bagi keterlibatan mereka dalam proyek-proyek yang tahan terhadap perubahan iklim. Ruzibiza mengatakan, dengan memanfaatkan keahlian dan pendanaan sektor swasta, Afrika dapat mempercepat transisinya menuju jalur pembangunan berkelanjutan sekaligus mengurangi ketergantungan pada pembiayaan berbasis hibah tradisional.
"Sejak Perjanjian Paris dengan mengakui peran penting pendanaan campuran dalam mencapai tujuan iklim, arsitektur keuangan global berkembang secara signifikan. Mulai dari Pertemuan Kepala Negara Uni Afrika hingga forum-forum seperti Pertemuan Musim Semi Bank Dunia dan Pertemuan Tahunan Bank Pembangunan Afrika, terdapat konsensus yang jelas tentang perlunya reformasi yang nyata," tulisnya.
Pertemuan dan forum-forum itu meletakkan dasar untuk membentuk kembali bagaimana sumber daya keuangan dimobilisasi dan dialokasikan, dengan menekankan keselarasan dengan prioritas iklim Afrika.
Menurut Ruzibiza, para pemimpin Afrika tidak hanya mencari bantuan, tetapi juga secara aktif mendorong narasi kemitraan dan tanggung jawab bersama dalam memerangi perubahan iklim. Ia mencatat Pertemuan Tingkat Tinggi Iklim Afrika (ACS) yang pertama dan deklarasi-deklarasi berikutnya menggarisbawahi komitmen Afrika untuk memimpin dengan memberi contoh dalam aksi iklim.
"Sikap proaktif ini terangkum dalam inisiatif seperti Penghargaan Investasi NDC Afrika, yang mengakui dan memberikan insentif kepada proyek iklim yang luar biasa di seluruh benua Afrika," katanya.
Menurutnya inisiatif tersebut tidak hanya memobilisasi modal iklim tetapi juga meningkatkan kesiapan investasi negara-negara Afrika, yang sangat penting untuk menarik pendanaan berkelanjutan dalam skala besar. "COP29 memberikan peluang untuk pembiayaan inovatif," katanya.