REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah berikut ini terjadi ketika Imam Ghazali (1058-1111) belum menekuni dunia tasawuf. Ceritanya terekam dalam kitab Muid an-Ni'ami, dengan mengutip penuturan Imam Tajuddin as-Subki.
Pada suatu ketika, Imam al-Ghazali memimpin shalat berjamaah di masjid. Kaum Muslimin setempat memang biasa menjadikannya pemimpin dalam ibadah bersama itu. Terlebih lagi, rumah sang rektor Universitas Nizhamiyah Baghdad ini berlokasi tak jauh dari tempat ibadah itu.
Namun, adik Imam Ghazali yang bernama Ahmad mulai menyisihkan diri, begitu melihat kakaknya itu menjadi imam shalat. Ia lebih suka meneruskan shalat secara sendirian (munfarid) di rumah daripada harus ikut menjadi makmum di belakang sang kakak.
Ini terjadi bukan hanya sekali atau dua kali, melainkan berkali-kali. Maka, orang-orang mulai membicarakan peristiwa tersebut di mana-mana.
Muncul rumor tak sedap ihwal hubungannya dengan sang adik, Imam Ghazali pun merasa terganggu. Ia menduga, sang adik telah menganggap shalat yang dipimpinnya adalah tidak sah.
Padahal, dirinya merasa yakin, sudah menjalankan setiap syarat dan rukun shalat secara sempurna. Akhirnya, ia menceritakan kegundahan hatinya itu kepada ibunya.
Sang ibunda lantas berjanji akan menyuruh Ahmad untuk turut menjadi makmum manakala Imam Ghazali tampil memimpin shalat di masjid. Mendengar itu, ia pun bersuka cita. Berharap, desas-desus yang bukan-bukan tentang dirinya dan sang adik akan sirna.
Akhirnya, Ahmad bersedia untuk ikut shalat berjamaah di masjid yang diimami Ghazali. Orang-orang yang menyaksikannya sempat terkejut, tetapi kemudian tidak berkata apa-apa.
Namun, di tengah shalat Ahmad justru membatalkan dirinya. Ia pun keluar dari shaf dan meneruskan shalat secara sendirian.