REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beredar informasi di jagat media sosial bahwa Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menyatakan siap menerima izin usaha pertambangan (IUP). Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 memang telah membuka peluang organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola usaha pertambangan batu bara.
Menanggapi kabar yang beredar, Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu'ti memberikan klarifikasi. Menurut dia, benar bahwa ada penawaran dari pemerintah mengenai IUP. Hal itu disampaikan melalui Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadilla.
Kemudian, tawaran itu disampaikan dalam rapat pleno PP Muhammadiyah tertanggal 13 Juli 2024. Namun, lanjut Abdul Mu'ti, pihak Kementerian Investasi/BKPM tak menyebut secara resmi, di mana lokasi tambang yang ditawarkan untuk Persyarikatan.
Sejauh ini, pihaknya belum menyatakan keputusan final terhadap tawaran yang dimaksud. "Keputusan resmi pengelolaan tambang oleh PP Muhammadiyah akan disampaikan secara resmi setelah Konsolidasi Nasional yang insya Allah dilaksanakan pada 27-28 Juli di Universitas Aisyiyah Yogjakarta," kata Abdul Mu'ti dalam pesan tertulis yang diterima Republika, Kamis (25/7/2024).
Sikapi IUP
Terpisah, hasil survei nasional yang dilakukan Religious Environmentalism Actions (REACT) telah terbit. Jajak pendapat ini berupaya memetakan pengetahuan, sikap, dan perilaku Muslim Indonesia terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Hasilnya, menunjukkan adaya dualitas peran agama, khususnya menyikapi isu tambang.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta) tersebut mengungkapkan, meski mayoritas responden Muslim tahu dan yakin akan terjadinya perubahan iklim dan dampak negatif dari aktivitas ekonomi seperti pertambangan, sebagian besar orang Islam ternyata masih melihat usaha tambang sebagai peluang ekonomi yang penting.
“Temuan ini menunjukkan sikap umat yang mendua. Di satu sisi, banyak yang setuju kalau kerusakan lingkungan itu disebabkan oleh aktivitas ekonomi seperti tambang, tetapi di sisi lain masyarakat Muslim di Indonesia cenderung setuju pesantren atau ormas memiliki bisnis tambang untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi,” jelas Iim Halimatusa’diyah, Koordinator Survei Nasional REACT – PPIM UIN Jakarta pada Peluncuran Survei Nasional REACT di Ashley Wahid Hasyim, Jakarta, Rabu (24/7/2024).
Survei ini mewawancarai 3,397 responden berusia 15 tahun ke atas dari seluruh provinsi di Indonesia. Survei ini menemukan, hampir 70 persen Muslim Indonesia sangat setuju dan setuju bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan ekonomi seperti perkebunan sawit dan pertambangan.
Meski demikian, 63.83% Muslim juga setuju jika pesantren/ormas memiliki usaha pertambangan atau perkebunan sawit untuk meningkatkan kondisi ekonomi. Dilihat dari afiliasi ormas Islam, Muslim yang berafiliasi dengan Muhammadiyah paling setuju (69.91%) bahwa perubahan iklim terjadi karena aktivitas ekonomi seperti pertambangan dan perkebunan sawit.
Sementara itu, meskipun secara umum semua Muslim dari berbagai afiliasi ormas setuju dengan kepemilikan pertambangan, Muslim yang berafiliasi dengan NU paling tidak setuju (29,88 persen) pesantren/ormas memiliki usaha pertambangan atau perkebunan sawit untuk meningkatkan kondisi ekonomi.
Iim merespon temuan di atas melalui dua pertanyaan penting untuk didiskusikan. “Pertama, adakah tambang yang ramah lingkungan? Lalu kedua, apakah pesantren atau ormas bisa mengelola tambang yang ramah lingkungan sekaligus mensejahterakan umat?” ujar Iim. Menurut Iim, fakta ini menunjukkan, betapa dilematisnya persoalan ramah lingkungan dan kepentingan ekonomi.