REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Pembunuhan kepala biro politik Hamas, Ismail Haniyeh di Teheran, Iran pada Rabu (31/7/2024) tentu dimaksudkan untuk melemahkan perlawanan Palestina terhadap penjajahan Palestina. Sebaliknya, kematian Haniyeh justru menyatukan seluruh Palestina dari Gaza hingga Ramallah, dari faksi ke faksi.
Kantor berita WAFA melaporkan, berbondong-bondong warga Palestina turun ke jalan di beberapa provinsi di Tepi Barat untuk mengutuk pembunuhan Ismail Haniyeh. Di Ramallah, ratusan pengunjuk rasa berkeliaran di jalan-jalan kota, menyampaikan belasungkawa dan simpati terdalam mereka kepada keluarga Haniyeh dan rakyat Palestina serta meneriakkan slogan-slogan yang menyerukan persatuan nasional.
Mereka membawa puluhan bendera hijau Hamas dan meneriakkan, “Rakyat menginginkan Brigade al- Qassam,” merujuk pada sayap militer kelompok tersebut.
Dukungan terbuka di Ramallah untuk Hamas jarang terjadi. Ramallah adalah ibu kota administratif Tepi Barat yang diduduki dan diperintah oleh Otoritas Palestina yang didominasi Fatah – yang telah lama berselisih dengan Hamas mengenai pemerintahan di dua wilayah Palestina.
Bahwa kantor berita WAFA yang merupakan corong resmi Otoritas Palestina mengabarkan dengan penuh simpati kematian Haniyeh juga adalah penanda zaman tersendiri. Sejak serangan 7 Oktober dan pembalasan brutal Israel di Gaza, baru hari ini kantor berita itu menuliskan kata “Hamas” di artikelnya.
Aksi serupa juga terjadi di kota Nablus. Pawai ini diselenggarakan oleh Komite Koordinasi Faksi di Nablus. Para peserta mengecam pembunuhan Haniyeh sebagai hal yang memalukan, dan menyerukan diakhirinya perpecahan dan mencapai persatuan nasional.
Puluhan warga juga ikut serta dalam aksi demonstrasi di kota Tubas untuk mengecam pembunuhan Haniyeh. Perwakilan dari kekuatan nasional dan Islam di Tubas berpartisipasi dalam aksi duduk dan pawai.
Pemogokan umum terjadi di seluruh Palestina pada Rabu sebagai bentuk kecaman atas pembunuhan Haniyeh. Toko-toko tutup dan karyawan berhenti bekerja di beberapa kota di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki, sementara lembaga kebudayaan mengumumkan bahwa mereka akan tetap tutup.
Palestinian children raise pictures of late Hamas leader Ismail Haniyeh atop the rubble of his destroyed home in the al-Shati refugee camp in Gaza City. pic.twitter.com/vGDywSMBQ1
— Quds News Network (QudsNen) July 31, 2024
Kelompok-kelompok politik di Palestina juga menyerukan persatuan dan pemogokan umum untuk memprotes pembunuhan Ismail Haniyeh. “Faksi-faksi nasional dan Islam di Palestina mengumumkan serangan komprehensif dan demonstrasi kemarahan untuk [memprotes] pembunuhan pemimpin besar nasional Ismail Haniyeh, yang terjadi dalam kerangka terorisme negara Zionis dan perang pemusnahannya,” kata faksi-faksi Palestina di Tepi Barat dalam sebuah pernyataan bersama.
Dalam bentuk solidaritas yang tidak biasa terhadap saingan politik utamanya, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menyerukan hari berkabung bagi pria yang diangkatnya menjadi perdana menteri pada 2006 dan diberhentikan pada 2007. Bendera Palestina harus dikibarkan setengah tiang di seluruh Tepi Barat.
Kantor perdana menteri di Ramallah juga mengutuk pembunuhan berbahaya Haniyeh, dan menyerukan warga Palestina untuk tetap bersatu dalam menghadapi penjajahan Israel.
Warga Palestina yang lelah dengan perang di Gaza ikut berduka atas terbunuhnya pemimpin Ismail Haniyeh. “Orang ini bisa saja menandatangani perjanjian pertukaran tahanan dengan Israel,” kata Saleh al-Shannar, yang mengungsi dari rumahnya di Gaza utara dikutip Aljazirah. “Mengapa mereka membunuhnya? Mereka yang membunuh perdamaian, bukan Ismail Haniyeh.”
Nour Abu Salam, seorang pengungsi perempuan, mengatakan pembunuhan itu menunjukkan Israel tidak ingin mengakhiri perang dan membangun perdamaian di wilayah tersebut. “Dengan membunuh Haniyeh, mereka menghancurkan segalanya,” katanya.
Fathi Nimer, pakar kebijakan Palestina di Al-Shabaka – sebuah wadah pemikir independen Palestina global – mengatakan bahwa orang-orang Palestina akan mengingat Haniyeh sebagai “seseorang yang setia pada asal usulnya”.
Tumbuh sebagai pengungsi di Gaza, ia menjalani pengalaman Palestina – bersekolah di UNRWA dan bekerja untuk menghidupi keluarganya, kata Nimer kepada Aljazirah. Haniyeh “memainkan peran integral dalam berbagai tonggak sejarah Palestina”.
Pada pemilu legislatif 2006, Haniyeh dinominasikan sebagai kandidat utama Hamas untuk dewan legislatif, dan setelah menang dalam pemilu, ia diangkat menjadi perdana menteri.
“Sampai hari ini, Haniyeh tetap menjadi satu-satunya perdana menteri Palestina yang mencapai posisi tersebut melalui mandat rakyat melalui kotak suara,” kata Nimer kepada Aljazirah. “Dia akan dikenang sebagai seseorang yang setia pada asal usulnya, dia mempraktikkan apa yang dia khotbahkan, dan posisinya tidak pernah melindungi dia dari kerusakan akibat pengepungan dan pemboman Israel.
“Anak dan cucunya termasuk di antara puluhan ribu korban genosida Israel. Dia dibunuh seperti pendahulunya, dan ada kemungkinan penerusnya juga menghadapi nasib serupa. Namun tetap jelas bahwa pembunuhan yang dilakukan selama berpuluh-puluh tahun ini tidak mampu menggagalkan perlawanan Palestina, dan kemampuan mereka terus berkembang dan mengubah keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut.”
Dari Istanbul sampai Karachi... baca halaman selanjutnya