REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Kondisi kawasan pemakaman berbentuk heritage di wilayah Cikadut dinilai semakin carut marut. Salah satunya, terlihat dengan berbagai bangunan liar tapi permanen dibangun di atas lahan tersebut.
Menurut Tokoh Masyarakat Tionghoa yang juga akademisi dari Fakultas Ilmu Budaya Unpad, Dr Sugiri Kustedja, pemakaman di Cikadut sangat perlu dilestarikan karena memiliki nilai sejarah yang tinggi. Apalagi, pemakaman Cikadut merupakan heritage di Kota Bandung.
"Ada sejarah panjang etnis Tionghoa di sana. Sebenarnya kondisi di lokasi ini sebelum terjadinya Covid-19 belum separah sekarang. Tetapi sekarang kondisinya sudah sangat memprihatinkan," ujar Sugiri, kepada wartawan dalam sebuah diskusi, belum lama ini.
Bahkan, kata dia, yang paling tidak masuk akal selain perumahan, pinggir-pinggiran jalan pun dijadikan tempat pembuangan sampah. Sebelum nantinya bahkan di atasnya akan dibuat tempat pembuangan sampah sementara. Jalan menuju lokasi pun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Apalagi saat hujan turun maka jalanan sangat memprihatinkan, selain becek juga memiliki lubang-lubang besar.
"Kondisi ini pun sudah kami sampaikan ke DPRD, dan pemerintah. Memang ternyata tanah Cikadut ini terbagi dua kepemilikannya yaitu milik Pemkot Bandung dan Pemkab Bandung," katanya.
Namun, hingga kini belum ada langkah nyata untuk memperbaiki kondisi di makam tersebut. Selain itu dinas yang mengurusi makam pun tidak memiliki data pasti terkait jumlah makam di sana.
Oleh karena itu Sugiri pun berharap ada peran serta pemerintah agar lahan di Cikadut ini bisa terselamatkan. Termasuk tidak jadinya membuat tempat pembuangan sampah sementara di atasnya. "Khawatir nantinya hilir mudik kendaraan sampah yang besar-besar akan memperparah kondisi jalan di sana," katanya.
Pembina Komunitas Aleut Ridwan Hutagalung pun menyampaikan sejak tahun 2006, Komunitas Aleut rutin berkunjung ke TPU Cikadut. Karena, di sana ada beberapa tokoh etnis Tionghoa yang berjasa bagi Kota Bandung.
"Semisal Letnan Tan Joen Liong, letnan terakhir Tionghoa yang ada di Kota Bandung. Selain itu ada pula makam yang berada di belakang makam yang biasa disebut 'white garden' yang berwarna putih. Uniknya tulisan di belakang white garden tersebut menggunakan Bahasa Armenia," katanya.
Kondisi di sekitar white garden ini pun padahal di tahun sebelumnya, kata Ridwan, masih terbilang rapi. Namun sekarang pagarnya sudah hilang. Nisannya pun kondisinya sudah berantakan ditambah sudah tertutup semak-semak.
Ridwan berharap, agar pemerintah memberikan data atau mendata ulang siapa-siapa saja yang dimakamkan di TPU Cikadut ini. Karena, kemungkinan banyak tokoh sejarah yang menjadikan makam ini tempat peristirahatan terakhir ini. "Makam di sini merupakan situs cagar budaya yang dilestarikan. Bahkan ada yang umurnya sudah seratusan tahun lebih," katanya.
Ketua Bandung Heritage Aji Bimarsono mengatakan, selama 37 tahun berdiri, Bandung Heritage masih menemukan situs cagar budaya yang dirusak. Bandung Heritage pun selalu mengkomunikasikan ini pada pemerintah setempat.
Namun, kata Aji, seringkali komunikasi belum berjalan mulus, terutama untuk mencari solusi yang terbaik yang bisa diterima semua pihak. "Kita masih kesulitan sekali sehingga seringkali kita menemukan halangan untuk mencapai solusi terbaik. Kita memang selalu berpikir agar kedepannya permasalahan ini tidak ditemukan lagi, " katanya.