Selasa 06 Aug 2024 21:28 WIB

Ini Alasan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Mulai Melambat

Pertumbuhan ekonomi kuartal kedua 2024 mencapai 5,05 persen year on year (YoY).

Rep: Dian Fath Risalah, Eva Rianti/ Red: Lida Puspaningtyas
Warga berbelanja di salah satu stan saat kegiatan pasar murah di Jalan Elang, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (8/12/2023). Pemerintah Kota Bandung menggelar pasar murah di 30 kecamatan, dengan menjual berbagai kebutuhan pokok di bawah harga pasar. Kegiatan ini merupakan upaya mengendalikan harga barang kebutuhan pokok, dan pengendalian inflasi menjelang akhir tahun.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Warga berbelanja di salah satu stan saat kegiatan pasar murah di Jalan Elang, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (8/12/2023). Pemerintah Kota Bandung menggelar pasar murah di 30 kecamatan, dengan menjual berbagai kebutuhan pokok di bawah harga pasar. Kegiatan ini merupakan upaya mengendalikan harga barang kebutuhan pokok, dan pengendalian inflasi menjelang akhir tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan tentang belanja atau konsumsi pemerintah yang tumbuh melambat pada kuartal II 2024. Menurut penuturannya, hal itu terjadi karena ada pergeseran jadwal pembayaran gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR).

Tercatat, konsumsi pemerintah hanya tumbuh 1,42 persen pada kuartal II 2024. Sedangkan pada kuartal I 2024, konsumsi pemerintah tumbuh di angka 19,9 persen.

Baca Juga

Febrio menuturkan, pertumbuhan belanja pemerintah sangat tinggi pada kuartal I 2024 karena adanya pembayaran gaji ke-13 dan THR. Sedangkan pada tahun lalu, belanja tersebut tidak terjadi pada kuartal I 2023, melainkan kuartal II 2023.

“Memang jadwal belanjanya berbeda untuk tahun ini, tahun lalu untuk gaji ke-13 dan THR jatuhnya di kuartal II. Tahun ini jatuhnya di sekitar kuartal I, jadi ini yang membedakan kenapa terlihat untuk kuartal II lebih kecil,” kata Febrio kepada wartawan di Kantor Kemenkeu, Selasa (6/8/2024).

Meski berbeda karena ada pergeseran jadwal belanja, Febrio menuturkan bahwa secara keseluruhan dalam setahun sudah sesuai dengan rencana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Karena itu pula, Febrio menilai tidak perlu ada dorongan yang lebih agresif untuk menggenjot belanja pemerintah.

“Sebenarnya enggak perlu ada yang digenjot karena belanja kita untuk tahun ini kalau kita lihat sesuai dengan lapsem outlook kita sekitar Rp 87 triliun, di atas APBN,” tutur, sembari menekankan bahwa belanja pemerintah sebenarnya sudah dilakukan dengan baik.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua 2024 mencapai 5,05 persen year on year (YoY). Pertumbuhan ini melambat bila dibandingkan kuartal pertama 2024 yang mencapai 5,11 persen YoY dan juga melambat bila dibandingkan kuartal kedua 2023 yang mencapai 5,17 persen YoY. 

"Jika ingin mencapai target pertumbuhan tersebut, pada sisa semester kedua, maka harus mampu mencatatkan pertumbuhan rata-rata setidaknya 5,32 persen. Meninjau kinerja pertumbuhan ekonomi selama beberapa kuartal terakhir, saya rasa kita membutuhkan extra effort untuk mencapainya," ujar Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo, Suhindarto kepada Republika, Selasa (6/8/2024).

Menurutnya, pemerintah harus mulai memberikan perhatian lebih pada daya tahan sektor riil ekonomi nasional . Ia melihat saat ini suku bunga tinggi sudah mulai memberikan beban dan berpengaruh ke sektor riil dan hal ini harus diantisipasi. 

"Meskipun sebelumnya dilaporkan bahwa konsumsi masyarakat masih mampu berkinerja solid di kuartal kedua, namun perlambatan inflasi pada tiga bulan terakhir tentu perlu menjadi perhatian tersendiri," ujarnya.

Saat ini, diperlukan dorongan pada daya beli masyarakat untuk bisa mengkompensasi kondisi tekanan yang diberikan dari suku bunga tinggi. Hal ini lantaran vntuan sosial kepada masyarakat saja tidak cukup. 

"Seperti yang kita ketahui, bantuan sosial hanya menyasar masyarakat dengan kelompok pendapatan pada desil bagian bawah saja," ujarnya.

Suhindarto mengungkapkan besarnya konsumsi masyarakat saat ini lebih ditopang oleh kalangan menengah atas yang justru dihadapkan pada berbagai disinsentif yang terjadi, seperti telah selesainya program insentif PPnBM kendaraan bermotor roda 4, kenaikan PPN, naiknya tarif cukai. Ditambah berbagai wacana yang akan menambah beban mereka seperti adanya kewajiban pemotongan penghasilan untuk Tapera, kewajiban untuk memiliki asuransi kendaraan bermotor, dan lain sebagainya. 

"Menurut saya, agar daya beli masyarakat bisa didorong kembali, pemerintah perlu memberikan skema insentif yang bisa mendorong masyrakat untuk meningkatkan konsumsinya kembali," ucapnya.

Selain itu, sisi lapangan usaha juga memerlukan berbagai insentif dan upaya-upaya signifikan dari pemerintah untuk mendorong dunia usaha lebih jauh lagi. Tingginya suku bunga seperti saat ini telah membuat perusahaan menghadapi ekonomi biaya tinggi, sehingga tidak sedikit dari mereka yang akhirnya mengambil strategi untuk bertahan alih-alih melakukan ekspansi. 

Selain itu, ketidakpastian yang timbul akibat tensi geopolitik tinggi yang terjadi saat ini juga perlu untuk diantisipasi. Jika kemudian tensi geopolitik meningkat akibat peperangan yang semakin intens di berbagai wilayah konflik, maka tidak menutup kemungkinan hal ini akan mendorong peningkatan harga komoditas, terutama harga minyak yang akan mempengaruhi biaya produksi dan distribusi di dalam negeri. 

"Jika demikian, maka hal ini akan semakin menambah beban perusahaan dan bukan tidak mungkin mereka akan dapat mem-pass through beban tersebut kepada konsumen. Sehingga pada akhirnya daya beli masyarakat akan kembali terdampak. Saya pikir beberapa hal tersebut yang perlu menjadi perhatian dan perlu kita waspadai untuk beberapa waktu mendatang," ujarnya.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement