Rabu 07 Aug 2024 14:23 WIB

Penjualan Perusahaan Terafiliasi Israel Ternyata Juga Anjlok di China

Dari McDonalds hingga P&G mengeluhkan penurunan penjualan di China.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Friska Yolandha
Logo perusahaan jaringan makanan cepat saji McDonald
Foto: REUTERS
Logo perusahaan jaringan makanan cepat saji McDonald

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Penjualan produk asal Amerika Serikat (AS) alami penurunan yang drastis di China. Padahal, China merupakan salah satu pasar yang paling diminati AS lantaran populasi penduduk China empat kali lipat dari populasi di AS. Salah satu penyebab anjloknya penjualan produk asal AS lantaran adanya persaingan lokal yang ketat serta masih adanya ketegangan politik dengan AS. Kondisi inilah yang membebani pendapatan perusahaan.

“Sentimen konsumen di China cukup lemah. Hal ini dapat dilihat baik di industri kami maupun di berbagai industri konsumen yang lebih suka mencari diskon. Faktanya, kami melihat banyak perubahan perilaku dalam hal konsumen, apa pun penawaran terbaik, ke sanalah mereka akhirnya pergi," kata CEO Mc Donald’s Christopher Kempczinski dikutip CNBC News, Rabu (7/8/2024).

Baca Juga

Penjualan untuk segmen pasar berlisensi pengembangan internasional Mc Donald's tercatat turun 1,3 persen dari tahun lalu. Termasuk di dalamnya adalah penjualan di China, namun Mc Donald's tidak menyebutkan berapa besar penurunannya.

Kepada CNBC News, CEO Starbucks Laxman Narasimhan mengungkapkan penjualan di toko yang sama di China turun 14 persen pada kuartal yang berakhir pada 30 Juni. Capaian ini jauh lebih tajam dibandingkan penurunan 2 persen di AS.

Saingan Starbucks, China Luckin Coffee, yang menawarkan harga setengah dari harga Starbucks juga melaporkan penurunan penjualan di toko yang sama sebesar 20,9 persen untuk kuartal yang berakhir pada tanggal 30 Juni. Namun perusahaan mengklaim penjualan untuk toko-toko tersebut melonjak hampir 40 persen menjadi setara dengan 863,7 juta dolar AS. Luckin memiliki lebih dari 13.000 toko yang dikelola sendiri, terutama di China.

"7.306 toko Starbucks di China mengalami penurunan pendapatan sebesar 11 persen menjadi 733,8 juta dolar AS selama kuartal yang sama," ujar Narasimhan

Sebenarnya, perusahaan-perusahaan China juga mengalami kesulitan. Penjualan ritel nasional hanya tumbuh 2 persen pada bulan Juni dibandingkan tahun lalu.

Tak hanya Mc Donald's dan Starbucks beberapa raksasa konsumen AS juga mengeluhkan tren penurunan dalam laporan pendapatan terbaru mereka. Apple mengatakan penjualan semester I di China turun sebesar 6,5 persen yoy. Kemudian Johnson and Johnson jugs menyebut China pasar yang sangat fluktuatif dan segmen bisnis utama yang berkinerja di bawah ekspektasi.

General Mills CFO Kofi Bruce menyebut telah terjadi penurunan nyata dalam sentimen konsumen, yang berdampak pada penjualan di toko Haagen-Dazs dan “bisnis pangsit premium” perusahaan. General Mills memiliki merek pangsit Wanchai Ferry .

Kepala Keuangan P&G Andre Schulten mengatakan, tidak terlalu berharap kembalinya pertumbuhan hingga dua digit di China seperti yang terjadi sebelum pandemi Covid-19. "Kami tidak mengharapkan kembalinya tingkat pertumbuhan [dua digit] seperti yang kita lihat sebelum Covid,” kata dia. 

 Andre Schulten memperkirakan seiring berjalannya waktu, pertumbuhan China akan meningkat ke angka satu digit menengah, serupa dengan pertumbuhan di pasar maju. Procter and Gamble mengatakan penjualan di Cina untuk kuartal yang berakhir akhir Juni turun sebesar 9 persen. 

Meskipun angka kelahiran di Cina menurun, Schulten mengatakan perusahaan tersebut mampu meningkatkan penjualan produk perawatan bayi sebesar 6 persen dan meningkatkan pangsa pasar berkat strategi lokalisasi. Namun, tak semua merek konsumen besar melaporkan kesulitan seperti itu di China. Sebut saja Nike yang melaporkan pertumbuhan pendapatan sebesar 7 persen yoy hingga kuartal I 2024.

“Meskipun prospek kami dalam jangka pendek telah melemah, kami tetap yakin dengan posisi kompetitif Nike di China dalam jangka panjang,” kata CFO dan wakil presiden eksekutif Nike Matthew Friend.

Kondisi serupa juga dilaporkan Adidas yang mengalami pertumbuhan pendapatan sebesar 9 persen di China untuk kuartal yang berakhir pada tanggal 30 Juni. CEO Bjorn Gulden mengatakan, Adidas menguasai pangsa pasar di China setiap bulan, meskipun merek lokal menimbulkan persaingan yang ketat.

“Banyak dari mereka adalah produsen yang langsung masuk ke ritel dengan toko mereka sendiri,” katanya. Jadi kecepatan dan nilai harga yang mereka miliki untuk konsumen itu berbeda dari sebelumnya dan kami mencoba menyesuaikan diri dengan itu.” katanya

Skechers juga melaporkan pertumbuhan 3,4 persen yoy di China dalam tiga bulan yang berakhir pada 30 Juni. “Kami terus berpikir bahwa Chiba sedang dalam proses pemulihan,” kata Kepala Keuangan Skechers John Vandemore.

"Kami berharap di paruh kedua tahun ini lebih baik. Yang jelas kami akan mencermati berbagai hal dengan saksama," tambah dia.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement