REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Abu Hanifah atau yang kemudian dikenal dengan Imam Hanafi tidak hanya terkenal dengan kepakarannya dalam agama, hingga mencetuskan mazhab fikih.
Mengutip Sirot Fajar dalam buku Hidup Bahagia Tanpa Keluh Kesah, Abu Hanifah adalah seorang pedagang yang kaya raya. Fokus usahanya ialah menjual kebutuhan sandang, termasuk kain-kain impor dari bahan sutra dan bulu.
Sebelum menerima nasihat dari Imam Amir bin Syurahbil Asy Sya'bi, dirinya sering sekali bepergian dari satu negeri ke negeri lain untuk berniaga.
Barulah sesudah Asy Sya'bi menyarankannya agar berkonsentrasi pada dunia ilmu-ilmu agama, dia mengurangi intensitas perjalanan bisnis.
Sebagai orang yang alim dan berada, Imam Hanafi sangat antusias dalam beramal. Bila ia mengeluarkan nafkah kepada diri dan keluarganya, saat itu pula sedekahnya dikeluarkan dengan jumlah yang sama kepada orang-orang lain yang membutuhkan.
Sebagai contoh, ketika sang imam memakai baju baru, maka ia langsung membelikan orang-orang miskin sejumlah baju baru dengan nilai dan harga yang sama, atau bahkan lebih, dengan pakaiannya itu. Begitu pula saat ia mendapatkan berbagai rezeki, semisal makanan, minuman, dan lain-lain.
Tiap akhir tahun, Imam Hanafi selalu melakukan tutup buku. Saat itu, dirinya akan menghitung seluruh laba perniagaannya. Dari keuntungan yang ada, ia mengambil sekadarnya saja untuk mencukupi kebutuhan pribadi.
Adapun jumlah yang lebih besar dialokasikannya untuk bersedekah dan hadiah. Para qari, ahli hadis, ulama fikih, serta anak-anak muda yang sedang menuntut ilmu-ilmu agama. Merekalah yang menjadi sasaran Imam Hanafi dalam bederma.
Di berbagai kesempatan, tokoh yang wafat pada 150 H ini kerap berpetuah, dirinya hanyalah peran tara yang melaluinya Allah mendatangkan sebagian dari rezeki-Nya kepada hamba-hamba-Nya. “Demi Allah, aku tidaklah memberi orang-orang sedikit pun dari hartaku. Sebab, itu adalah karunia dari Allah bagi kalian yang melalui tanganku.”
Kisah teladan ....