Senin 12 Aug 2024 10:58 WIB

Kembali Berjaya di Olimpiade, China Tegaskan Status Sebagai Negara Adidaya

China hanya kalah di perhitungan perak dari AS di Olimpiade Paris.

Bendera Amerika Serikat (AS) dan China.
Foto: AP Photo/Kiichiro Sato
Bendera Amerika Serikat (AS) dan China.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Andai saja Kahleah Copper gagal memasukkan tembakan bebasnya pada detik-detik akhir final bola basket putri Olimpiade Paris, posisi Amerika Serikat mungkin tidak berada di puncak klasemen akhir perolehan medali. AS keluar sebagai juara umum setelah memastikan emas pada final basket putri dengan mengalahkan Prancis 67-66.

AS mengumpulkan 40 medali emas, ditambah 44 perak dan 42 perunggu. Keunggulan jumlah perak ini menempatkan AS di atas China, yang mengoleksi 40 medali emas, 27 medali perak, dan 24 medali perunggu.

Baca Juga

Untuk dua edisi berturut-turut, China menempati peringkat kedua dalam daftar perolehan medali Olimpiade. Sebelumnya, China menempati posisi serupa di Olimpiade Tokyo 2020.

Terakhir kali China melampaui AS dalam daftar perolehan medali Olimpiade terjadi ketika Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade 2008. Saat itu, China mengumpulkan 100 medali yang walau kurang 12 medali dari total medali yang dikumpulkan Amerika Serikat, mereka memuncaki klasemen medali dengan 48 medali emas, dua emas lebih banyak dari yang diperoleh AS. Itulah kali pertama negara non Eropa dan Amerika menjadi juara umum Olimpiade.

Saat itu, China dituding curang. Namun negara ini jalan terus. Mereka konsisten menyaingi AS, yang sejak Uni Soviet runtuh selalu menjadi pengumpul medali Olimpiade terbanyak.

Bahkan dalam Olimpiade Tokyo 2020 yang diadakan setahun lebih lambat karena pandemi Covid-19, China hanya kalah satu medali emas dari AS.

China mulai mengikuti Olimpiade pada 1952 di Helsinki, tapi empat tahun kemudian absen karena memprotes kebijakan "dua China" yang dirangkul Komite Olimpiade Internasional (IOC). Protes itu berlangsung selama 20 tahun, dari Olimpiade Melbourne 1956 sampai Olimpiade Montreal 1976.

Pada 1978, dua tahun setelah pemimpin China, Mao Zedong, meninggal dunia pada 1976, China meninggalkan kebijakan isolasionis dengan membuka diri kepada dunia luar.

Setahun setelah itu, China masuk kembali menjadi anggota IOC, walau bukan berarti setuju dengan pemisahan Taiwan dari China daratan yang menjadi pangkal keluarnya mereka dari IOC.

China pun mengirimkan delegasi pemantau dalam Olimpiade Musim Dingin 1980 di Lake Placid, Amerika Serikat. Tetapi, mereka turut memboikot Olimpiade (Musim Panas) Moskow 1980 sebagai protes atas invasi Uni Soviet di Afghanistan pada 1979.

China baru berpartisipasi penuh lagi dalam Olimpiade Los Angeles 1984, yang balas diboikot Uni Soviet dan sekutu-sekutunya. Di Los Angeles 1984, China melakukan gebrakan dengan finis urutan empat dalam daftar perolehan medali di bawah AS, Rumania, dan Jerman Barat.

Sempat terpental ke urutan 11 empat tahun kemudian dalam Olimpiade 1988 di Seoul, China stabil menjadi salah satu kekuatan raksasa Olimpiade. Mereka selalu finis di atas peringkat empat, bahkan sejak Olimpiade Sydney 2000 sampai Tokyo 2020 selalu masuk tiga besar.

Sejak Olimpiade Athena...

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement