Senin 19 Aug 2024 15:50 WIB

Ketika Ulama Mendekati Penguasa

Ulama tidak pantas mendekati penguasa, tetapi penguasa-lah yang mendatanginya.

Ulama (ilustrasi)
Foto: republika
Ulama (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Betapa tinggi kedudukan ahli ilmu atau ulama. Allah SWT dalam surah az-Zumar ayat kesembilan berfirman. Artinya, “Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui daripada orang-orang yang tidak mengetahui?’” Dalam surah an-Nahl ayat 43, Allah menegaskan, “fas`alu ahla adz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun.” Artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Ya, ulama adalah tempat bertanya. Kepadanya, umat meminta nasihat dan pencerahan.

Baca Juga

Seorang alim menjadi mulia dengan ilmunya. Karena itu, hendaknya ilmu dicari dan diamalkan dengan tujuan yang tertinggi, yakni mengharap ridha Allah Ta’ala. Bukan sanjungan manusia.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang mencari ilmu bukan karena Allah, atau bukan dalam rangka mengharapkan wajah Allah, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduk di dalam api neraka.”

Seorang ulama pada hakikatnya sedang mengemban amanah dari Allah. Karena itu, tidak ada jalan menuntut dan mengamalkan ilmu selain yang sesuai perintah-Nya. Ilmu pun harus dijaga agar tidak jatuh ke dalam kehinaan duniawi.

Merujuk kitab Tadzkiratus Saami’ karya Imam Badruddin Ibnu Jama’ah, seorang ulama tidak boleh merendahkan ilmu. Misalnya dengan sering pergi ke tempat “orang yang tidak berhak”.

Siapa itu? Para pencinta dunia. Ulama tak boleh mendatanginya kecuali sungguh-sungguh ada keperluan yang mendesak dalam perkara keumatan atau tegaknya agama.

Az-Zuhri rahimahullah berkata, “Hinanya ilmu ketika seorang alim membawanya ke rumah orang belajar.”

Sudah seharusnya, penguasa-lah yang mendatangi ulama atau majelis-majelis ilmu.

Dalam hadis riwayat Dailami, dari Umar bin Khaththab, Nabi SAW bersabda, “Sungguh Allah mencintai penguasa yang mendatangi ulama. Dia membenci jika ulama yang mendekati penguasa. Sebab, ketika ulama mendekati penguasa, maka yang diinginkannya urusan dunia. Bila penguasa yang mendekati ulama, maka yang diinginkannya urusan akhirat.”

Ulama dan umara. Dua peran yang sentral dalam menjadikan suatu negeri “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (QS. Saba: 15).

Karena itu, hendaknya seorang pemimpin menyadari posisinya di bawah ulama, sehingga mendatangi majelis-majelis ilmu dengan hati yang tunduk mengharap ampunan-Nya. Jangan ulama seperti diseret-seret ke dalam urusan duniawi, semisal kekuasaan.

Kemudian, seorang ulama pun dapat memberi nasihat yang jelas. Surah al-Baqarah ayat 42 menjadi panduannya: “Janganlah kalian campur-adukkan antara kebenaran dan batil (kemungkaran), dan kalian sembunyikan yang benar, padahal kalian mengetahuinya.”

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement