REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Ketika langkah kaki tiba di depan diaroma gerbang kerajaan yang terbuat dari susunan gabus-gabus yang dicat jingga, tercium aroma wewangian khas fragrance yang manis dan lembut. Ia menguar memberi sambutan hangat.
Di Gedung Pusat Informasi Geologi yang berada di kompleks Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB), warisan budaya Kerajaan Mataram Islam yang terpajang, memikat setiap mata yang memandanginya dengan serius.
Pada 20--23 Agustus 2024, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar pameran temporer bertajuk Widya Saswata, Mataram Islam: Sangkaningrat, Jayaningrat, Ian Paraningrat bekerja sama dengan Museum NTB.
Ruang pameran yang tak begitu luas membawa setiap pengunjung memasuki lorong waktu untuk kembali ke masa lalu, mengenal pusat ibu kota pemerintahan dan wilayah penting Kerajaan Mataram Islam yang berada di Yogyakarta.
Dinding ruangan dipenuhi poster yang menampilkan tulisan-tulisan tentang sejarah berdiri dan perkembangan Kerajaan Mataram. Mulai dari Kotagede yang berasal dari Alas Mentaok, kemudian berpindah ke Kerto-Pleret setelah Kerajaan Mataram Islam hingga mengalami perkembangan dan kemajuan pesat.
Kepala Bidang Sejarah, Bahasa, Sastra, dan Permuseuman Dinas Kebudayaan DIY Budi Husada mengatakan pameran itu sebagai upaya merajut persaudaraan antarmuseum, khususnya Museum Kotagede dan Museum Pleret di Yogyakarta dengan Museum NTB.
Kerja sama museum dapat memperluas dan memperkaya narasi budaya yang tersaji melalui pameran temporer di antara dua budaya yang berbeda, sekaligus sarana transfer pengetahuan dan pengajaran mengingat fungsi museum adalah sebagai lembaga pendidikan, lembaga budaya untuk pariwisata, dan juga lembaga riset.
Dari pameran Kerajaan Mataram Islam yang dikemas singkat dan sederhana itu pengunjung bisa belajar tentang sejarah masa lalu Nusantara, perkembangan peradaban, agama sebagai pemandu, dan budaya yang mengakar kuat di masyarakat.
Warisan budaya
Di sebelah kanan pintu masuk berdiri dua manekin pria yang terbungkus replika pakaian abdi dalem jaler dari Keraton Kesultanan Yogyakarta dan Keraton Kesunanan Surakarta.
Busana adat abdi dalem pria Kesultanan Yogyakarta disebut surjan pranakan jangkep yang merupakan salah satu pakaian dinas harian. Busana itu memiliki corak lurik berwarna biru tua dan hitam.
Keberadaan lima kancing di setiap ujung lengan memiliki arti lima rukun Islam, sedangkan enam kancing yang ada leher depan mengandung makna enam rukun iman. Busana pranakan sarat dengan warisan nilai-nilai Islam yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari Mataram Islam.
Setiap abdi dalem pria yang bekerja di Keraton Kesultanan Yogyakarta wajib mengenakan kelengkapan busana berupa blangkon sebagai penutup kepala dan kain batik untuk menutup bagian kaki. Ada pula busana bersifat pelengkap, yakni samir, kain penutup pinggang, dan keris.
Adapun pakaian abdi dalem pria Kesunanan Surakarta disebut atela jangkep dengan atasan menyerupai jas dengan kancing berada di tengah.
Para abdi dalem dari keraton Kesultanan Yogyakarta dan keraton Kesunanan Surakarta saat ini masih ditugaskan menjaga Kotagede yang pernah menjadi ibu kota pertama Mataram Islam dan Imogiri sebagai situs makam raja-raja Mataram.
Lihat halaman berikutnya >>>