REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak-anak memiliki kecenderungan meniru perilaku orang dewasa, terutama orang tua mereka. Ketika anak-anak melihat orang tua mereka terus-menerus menempel pada layar ponsel atau tablet, mereka akan menganggap bahwa perilaku tersebut adalah hal normal dan wajar. Padahal, penggunaan gadget yang berlebihan dapat berdampak negatif bagi perkembangan anak, seperti gangguan konsentrasi, masalah tidur, hingga kurangnya interaksi sosial.
Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (PP HIMPSI) Anrilia EM Ningdyah, PH.D., Psikolog mengingatkan pola penggunaan gadget (gawai) pada orang tua bisa membentuk pola yang sama pada anak-anak. Anrilia menjelaskan orang tua memiliki peran penting dalam memberikan contoh serta mengawasi anak-anak dalam penggunaan gadget.
“Kita harus pastikan dulu bahwa penggunaan kita terkait teknologi digital terutama gadget itu tepat, barulah kita membantu anak,” kata Anrilia dalam diskusi daring yang digelar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) di Jakarta, Kamis (29/8/2024).
Anrilia menjabarkan orang tua perlu menyadari penggunaan gadget yang tepat sebelum kemudian menerapkan pola yang sama kepada anak-anak. Apabila orang tua menggunakan gadget hingga mengganggu pola tidur, aktivitas fisik, dan nutrisi, maka hal itu menandakan penggunaan gadget yang tidak tepat.
Selain itu, apabila penggunaan gadget sudah mengurangi interaksi sosial, orang tua juga perlu mewaspadai kondisi ini. “Pastikan juga penggunaan gadget tidak mengganggu peran orang tua kepada anak-anak,” kata Anrilia. Untuk itu, orang tua pun perlu lebih dulu memperbaiki pola penggunaan gadget agar lebih mudah untuk mengarahkan anak-anak dalam hal menggunakan gadget.
Selain itu, Anrilia menyarankan agar orang tua memakai aplikasi yang aman untuk mengontrol penggunaan gadget (gawai) pada anak. “Mungkin banyak orang tua yang tidak familier dengan aplikasi atau mesin pencari yang aman untuk anak-anak karena terbiasa menggunakan yang untuk orang dewasa saat memberi fasilitas untuk anak. Itu yang harus kita ubah,” kata Anrilia.
Misalnya untuk anak 0-12, kata Anrilia, mesin akses khusus yang lebih aman bukan Google tapi Kiddle. Kemudian untuk media sosial, orang tua bisa menggunakan aplikasi khusus yang memang diperuntukkan untuk anak-anak.
Anrilia mengatakan, anak-anak juga bisa membuat konten serupa dengan TikTok di aplikasi yang ramah anak seperti zigazoo mulai dari lima tahun ke atas. Orang tua juga bisa mencoba mencari-cari media sosial alternatif yang bisa digunakan anak-anak untuk berinteraksi, bukan menggunakan media sosial untuk usia 13 tahun ke atas seperti Instagram, Facebook, dan lain sebagainya.
“Saya bukannya endorse ya. Tapi yang jelas upaya kita sangat dibutuhkan dalam mencari pengetahuan-pengetahuan baru untuk anak-anak,” kata Anrilia.
Menurut Anrilia, cara-cara seperti ini dapat menjadi solusi apabila orang tua ingin memperkenalkan gadget kepada anak-anak. Dengan demikian, anak pun dapat mengikuti perkembangan zaman dengan lebih aman bagi pertumbuhan fisik dan mentalnya.